44

53 22 0
                                    

"Nona, waktunya sarapan," seorang wanita memberitahu Anna.

"Iya, Bi. Jam berapa sekarang?"

"Jam tujuh pagi," babu itu melongok ke jam lemari yang berdiri di sudut ruang tengah.

"Ah, ternyata. Aku terlalu larut membaca buku. Sampai lupa kalau pagi harus memberi pakan ternak."

"Ternak sudah diberi makan, Nona."

Anna batal mengangkat tubuhnya dari kursi. Dia lebih suka meneruskan membaca sambil menikmati teh hangat di atas meja.

"Tolong buka jendelanya," Anna bicara sambil tetap menatap buku di atas meja.

"Wah, hari cerah hari ini, Nona."

"Bagus, jika begitu aku tidak akan ke mana-mana. Pasalnya, pasti panas."

"Bukankah, hari ini Nona ada janji?"

Anna mengangkat wajah. Dia mengingat-ingat sesuatu. Hari ini aku janji dengan siapa?

"Bagaimana kau tahu jika hari ini aku ada janji dengan seseorang?"

"Orang itu sudah ada di pekarangan, Nona."

Anna mengangkat tubuhnya. Dia mendekati jendela. Mata gadis itu tertuju ke halaman belakang rumah yang luas. Dia menyaksikan seorang gadis sedang bermain-main dengan si Bruno.

"Hai, kenapa kau harus menjemputku ke sini?"

"Aku pikir kau tidak akan datang. Hari sudah terlampau terang. Kami harus mencari kayu bakar ke hutan." Pratiwi menunjuk ke atas langit sambil memicingkan mata karena silau.

"Oh, maafkan aku. Aku terlalu larut dengan buku yang kubaca."

"Memangnya, kau membaca buku apa? Buku cerita?"

"Bukan, buku politik."

"Sejak kapan gadis sepertimu tertarik dengan masalah politik?"

"Oh, kau jangan meremehkanku. Siapa tahu aku dilamar oleh pejabat tinggi di Batavia. Jadi, aku tahu harus bagaimana menempatkan diri."

"Hahahaha!"

"Kenapa kau tertawa? Adakah yang lucu dengan perkataanku?"

Pratiwi tidak langsung menjawab pertanyaan Anna. Begitupun Anna lebih suka menyuruh pembantunya untuk membungkus sarapan kemudian membawanya dengan tas selempang.

"Hei, kau belum menjawab peratanyaanku." Anna kembali membuka percakapan.

"Pertanyaan yang mana?"

"Kau tertawa ketika aku mengatakan ...."

"Oh, kalau kau bermimpi jika ada pejabat tinggi yang akan melamarmu?"

"Ya, apakah itu terdengar lucu?"

"Bukan perkataanmu yang lucu. Tapi, lihatlah dirimu. Kau gadis perkebunan yang jarang sekali pergi ke kota besar. Lalu, bagaiamana bisa ada pejabat yang mau melamarmu?"

"Pratiwi, kau lupa kalau aku ini putri Tuan Eickman? Ayahku bisa saja menjodohkanku dengan pemuda tampan di sana."

"Baiklah, aku tidak mau berdebat."

"Ya, karena kau pasti kalah."

"Bukan itu alasannya, Nona Anna yang cantik."

"Apa?"

"Cara kita berpikir tentang dunia, sepertinya berbeda."

"Maksudmu?"

"Kami, para gadis desa, lebih suka memikirkan hal yang masih bisa diindera. Masih bisa dilihat oleh mata. Dan, tidak suka memikirkan hal di luar sana."

Panca dan Pembunuh BayaranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang