Pratiwi sulit untuk tidak menaruh curiga pada Tuan Hasyim. Apa yang telah disimpulkan Bajra jika orang itu memiliki niat jahat membuat Pratiwi diam-diam memperhatikan tindak-tanduk si pedagang dari Cirebon.
Jika kau memiliki niat jahat pada kami, mengapa kau terang-terangan datang ke kampung ini seakan menantang?
Pertanyaan dalam hatinya timbul ketika Pratiwi memperhatikan Tuan Hasyim dari lubang dinding rumah. Mudah saja bagi gadis itu mengintip orang di luar karena banyak lubang di dinding berbahan bambu. Rumah keluarga Pratiwi bukanlah rumah tembok sebagaimana biasanya keluarga priyayi di daerah lain. Meskipun orang memanggil mereka "raden" dan "nyimas" tetapi tidak tampak kemewahan jika dilihat dari luar.
Satu-satunya harta keluarga itu yang bisa dibanggakan adalah tanah luas hingga berbatasan dengan hutan milik negara. Dan, semua warga yang ada di Pujasari pada dasarnya tinggal menumpang.
Begitupula warga yang sedang sibuk membuat gerabah. Mereka terlihat begitu bersemangat. Terlebih, datang seorang pembeli dari tempat jauh yang memesan dalam jumlah besar.
Dari lubang dinding, terlihat bagaimana Tuan Hasyim ikut menyaksikan warga bekerja. Jubahnya yang lusuh tampak berkibar-kibar karena tersapu angin.
"Hei, tidak baik mengintip orang seperti itu, tidak sopan." Suara seorang laki-laki terdengar dari arah belakang.
"Eh, Ayah. Ternyata Ayah sudah bangun."
"Perutku lapar. Makanya terbangun."
"Kalau begitu, aku ke belakang."
"Tunggu, kau mengintip siapa? He ...."
"Tidak, saya hanya memperhatikan tamunya Paman Lurah."
"Kalau hanya itu, kenapa harus mengintip dari balik lubang?"
Pratiwi terdiam. Dia bimbang. Apakah aku harus membicarakan apa yang sedang kupikirkan pada ayahku?
"Hei, jawab pertanyaan ...."
"Oh, Ayah lapar kan? Akan aku ambilkan ...."
Pratiwi hendak melangkah ke dapur. Namun, Raden Aditama memegang lengan anak gadisnya.
"Berceritalah, aku ayahmu. Apa yang kau pikirkan?"
Pratiwi mengarahkan pandangan ke segala arah. Air mukanya nampak kebingungan.
"Sebenarnya siapa tamu Paman Lurah sehingga kau ...."
Raden Aditama belum tahu siapa tamu kakaknya. Dia belum melihat wajahnya. Sungguh mengherankan jika anak gadisnya bersikap tidak biasa pada orang yang tak dikenalnya. Penuh curiga.
Laki-laki itu melepaskan pegangan. Dia berjalan ke arah jendela. Jika siang hari, jendela jelusi itu terbuka lebar. Makanya dia bisa melihat ada kejadian apa di luar.
Baru sedikit saja kepalanya menengok ke luar jendela. Laki-laki itu langsung mundur.
"Kenapa, Ayah? Sekarang Ayah yang terlihat aneh ketika melihat wajah orang itu?" Pratiwi balik mendesak Raden Aditama untuk berterus terang.
Bagi Pratiwi, ini bukan hal yang mengherankan jika ayahnya terlihat tegang. Dia tahu ada banyak hal yang dirahasiakan oleh Raden Aditama pada anak dan istrinya.
"Kenapa, Ayah? Ayah mengenalnya?"
Raden Aditama menggelengkan kepala. Dia berusaha tenang di hadapan anak gadisnya. Tapi, itu tidak berhasil. Wajah laki-laki itu memerah.
"Baiklah. Menjadi hak Ayah untuk merahasiakan hal yang harus dirahasiakan."
Raden Aditama menatap wajah anaknya. Sepertinya anakku curiga dengan kelakuanku.
"Tapi, jika ini menyangkut keselamatan orang lain ... keselamatanku juga ... aku berhak tahu apa yang tengah terjadi antara ayah dan orang itu?"
Pertanyaan itu menohok hati Raden Aditama. Dia mulai sadar jika anaknya bukan lagi anak kecil yang mudah diperdaya. Dia sudah tumbuh menjadi remaja yang cerdas dan mulai mengerti bagaimana sebenarnya hidup di dunia.
Raden Aditama enggan menjawab pertanyaan anaknya. Aku sudah lelah untuk terus membohongi anakku. Tapi, jika aku berterus terang khawatir dia tidak bisa tenang.
"Apakah luka ini karena orang itu juga?" Pratiwi memberikan pertanyaan yang membuat ayahnya semakin merasa terdesak. "Jujurlah, Ayah ...."
"Pratiwi, aku ayahmu. Kau tidak berhak berkata padaku. Tidak sopan."
"Maaf, jika aku tidak sopan."
Raden Aditama menampakan wajah marah pada anaknya. Dia hendak berlalu menuju dapur.
"Aku merasakan ketakutan semenjak kedatangan orang itu," Pratiwi berterus terang tentang perasaannya.
Raden Aditama berhenti melangkah. Dia berdiri terpaku.
"Sejak sore kemarin, aku merasa orang itu bermaksud jahat."
"Itu hanya perasaanmu saja."
"Baiklah, jika Ayah tidak mau berterus terang ... jangan salahkan siapa-siapa jika ada sesuatu terjadi padaku."
Raden Aditama membalikan badan.
"Aku punya alasan ketika memiliki ketakutan demikian. Aneh rasanya jika Ayah datang ke sini dengan tubuh terluka. Tanpa menunggu untuk sembuh terlebih dahulu, karena biasanya begitu. Apakah Ayah juga khawatir akan terjadi sesuatu pada kami sehingga terburu-buru datang pulang?"
Raden Aditama tidak bisa berkata-kata lagi.

KAMU SEDANG MEMBACA
Panca dan Pembunuh Bayaran
Misteri / Thriller"Paman, sedang apa Paman Aditama di sini?" Anna menyaksikan seseorang yang dikenalnya sedang melangkah ke arah gerbong selanjutnya. Di belakangnya, ada seorang laki-laki berjubah sedang memegang pisau. Tangan laki-laki itu penuh dengan darah. Begitu...