28

50 21 0
                                    

Panca menikmati hiburan yang disajikan oleh tuan rumah. Pratiwi malah tak sadar mengikuti penari berlenggak-lenggok. Hanya Bajra yang tidak bisa diam. Dia mengikuti Si Bruno yang sama-sama tidak bisa diam.

Alat musik kendang, rebab*, kecapi, gong dan kecrek terdengar merdu di saat malam yang semakin dingin. Seorang penari perempuan dengan pakaian kebaya melilit tubuhnya terlihat genit ketika mulai disoraki oleh penonton.

Panca terhenyak ketika Pratiwi menepuk punggung anak remaja itu.

"Ada apa? Kau menggangguku saja."

"Eh, Nona Anna mengajak kita berkumpul."

Panca melihat ke arah Anna yang duduk di beranda. Dia duduk di dekat ayahnya dan tamu lainnya.

"Baiklah."

Panca dan Pratiwi meninggalkan arena hiburan yang diterangi oleh puluhan obor itu. Jika dilihat dari jauh, kediaman Nyonya Edward seperti dikelilingi kunang-kunang  yang memancarkan sinar dari tubuhnya.

Bajra sudah menunggu di bawah pohon cemara ketika Panca, Anna dan Pratiwi menghampiri. Tentu saja Bruno pun senang ketika anjing itu dihampiri oleh Anna sebagai majikannya.

"Kalian tidak akan menyangka, ternyata Tuan William yang membuat rekayasa berita di koran," Anna memulai obrolan dengan apa yang ditemukannya.

"Bagaimana kau bisa menyimpulkan?" Panca ingin kepastian.

"Wajahnya memerah ketika aku membicarakan kejadian pembunuhan di gerbong kereta api tempo hari."

Semuanya saling tatap. Anna mendekatkan telunjuk ke bibir. Semuanya mengerti untuk hati-hati dalam berbicara. Jangan sampai ada pengawal yang mendengar.

"Tapi, apakah itu bisa disimpulkan ... jika dalang di balik semua ini adalah dia?" Bajra bertanya dengan penuh penasaran.

Anna mengangkat bahu.

Keempat remaja itu memilih duduk di bawah pohon cemara. Mereka lebih suka menikmati malam menjauh dari para orang dewasa. Anak-anak remaja itu lebih suka menikmati malam dengan cara mereka sendiri.

"Lihat, Tuan William berjalan ke arah paviliun," Anna memberi kode. "Jangan ditatap, pura-pura tidak tahu saja."

"Tapi, dia sudah menatap kita." Kebetulan Bajra duduk menghadap ke arah jalan kecil berbatu menuju paviliun. "Dia datang."

Semuanya tertunduk. Pura-pura tidak tahu.

"Hei, sedang apa kalian di sini? Kenapa tidak ikut berkumpul di beranda?" Tuan William mendekat kemudian bertanya dengan nada lebih ramah dari sebelumnya.

"Kami terbiasa seperti ini, Tuan. Membicarakan hal-hal yang sulit dimengerti orang dewasa," Anna menjawab dengan senyuman merekah.

"Oh, begitu. Bolehkah saya bertanya pada kalian."

"Tentu saja, Tuan."

"Kenapa ... kalian selalu berempat pergi ke mana-mana?"

"Karena kami seumuran, Tuan."

"Bukan untuk menjaga Nona Anna?"

"Menjaga dari apa, Tuan?"

"Entahlah. Mungkin Nona Anna merasa ketakutan?"

Semuanya saling tatap.

"Sebaiknya kalian berhati-hati saja. Karena ... sebagaimana yang disangka oleh Nona Anna ... pembunuh itu belum tertangkap."

Tuan William berlalu. Dia membuang cerutu ke arah kebun teh yang gelap. Hanya siluet tubuhnya yang terlihat dari belakang. Setelah ditatap cukup lama, dia berjalan ke arah paviliun. Tampak pula istrinya mengikuti dari belakang. Mereka berdua terlihat bercakap-cakap kemudian menatap ke arah pohon cemara. Mereka membicarakan kita, pikir Panca.

"Bagiku, Tuan William terdengar mengancam," Pratiwi menyampaikan isi hatinya.

"Ya, memang itu tujuannya menghampiri kita."

"Mungkin dia tersinggung olehmu, Nona. Memangnya kau begitu mempermalukannya?"

"Tidak bermaksud begitu. Tapi, sepertinya aku membuat suasana hatinya menjadi lebih muram."

Untuk beberapa saat, mereka berempat sudah tidak mau membicarakan tujuan kedatangan mereka datang ke tempat itu. Langit malam itu cukup cerah, sayang jika tidak dinikmati. Hanya ada awan tipis menghalangi rembulan yang baru setengah menampakan sinarnya. 

Di arah yang berlawanan, bintik-bintik cahaya terlihat di tengah langit yang gelap. Semua mata menyaksikan bintang-gemintang, kecuali mata si Bruno.

Anjing itu tidak mengerti bagaimana sebaiknya bintang bersinar. Hal yang dia mengerti adalah bagaimana caranya menikmati malam ini tanpa diganggu oleh gonggongan anjing hutan yang biasa mencuri ternak di malam hari.

Dunia binatang akan selalu beda dari dunia manusia. Bagi seekor anjing, menjadi anjing yang baik dan disayangi majikannya sudah cukup tanpa harus banyak meminta banyak hal. Dalam dunia mereka, kesetiaan itu tanpa pamrih.

Suara gendang ditabuh masih terdengar. Pertanda jika pesta belum berakhir. Malam masih panjang.

"Aku sudah mengantuk, tapi para penari itu belum pulang," Anna berbaring di rumput.

"Mungkin mereka akan pulang tengah malam nanti," Panca memperkirakan.

Ketika Anna menguap, Pratiwi mulai terkantuk-kantuk, Bajra malah berlari mengejar si Bruno.

"Biarkan saja dia pergi. Nanti juga pulang lagi, " Anna memberi saran.

Ternyata, anjing itu mengejar sesuatu. Dalam kegelapan mereka saling berkejaran. Si Bruno berlari sambil menggonggong.

"Seekor musang," Bajra kembali mendekat ke arah pohon cemara. "Seekor musang sepertinya mengajak si Bruno bermain. Sepertinya musang terkejut melihat si Bruno."

Musang itu terlihat memanjat ke pohon cemara di belakang paviliun. Para pengawal yang mendengar gonggongan si Bruno mencoba mengusir si musang agar tidak mengganggu pesta para manusia.

Anna dan ketiga kawannya hanya tertawa kecil melihat tingkah si Bruno. Bagi mereka, itu menjadi hiburan pengusir kantuk.

Karena diusir, si musang pun turun juga dari pohon. Dia melompat ke arah kebun teh. Tentu saja si Bruno mengikutinya.

Sebagai majikan, Anna memberi semangat anjingnya itu untuk terus mengejar si musang. Sambil tertawa, Panca dan ketiga kawannya berteriak seperti menyemangati seekor kuda yang sedang balapan di arena.

Namun, tawa itu tiba-tiba berhenti setelah mendengar seseorang yang berteriak dari arah paviliun.

"Tolong! Tolong! Suamiku!"

__________________________
*) Rebab: alat musik gesek seperti biola.

Panca dan Pembunuh BayaranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang