Bajra tiba di pekarangan bersama dua ekor sapi yang menarik pedati. Wajah anak remaja itu terlihat panik.
"Raden, kau tahu, sepertinya ada kejanggalan."
"Kejanggalan seperti apa?" Panca bertanya heran.
Bajra belum turun dari pedati, tapi dia sudah membicarakan hal yang baru saja dipikirkannya. Namun Panca tidak heran dengan sikap kawannya itu.
"Kau ingat seorang wanita yang membeli gentong tadi?"
"Ya, tentu saja."
"Aku merasa, wanita itu sengaja membuat kita kembali pulang."
"Bagaimana kau bisa menyimpulkan demikian?"
"Kau sadar tidak, wanita itu sengaja menunggu kita di pinggir jalan. Padahal seorang wanita di desa biasanya sedang ...."
"Berada di dapur atau mencuci pakaian di sungai."
"Ya, jarang sekali kita mendapati pembeli sepagi itu."
"Ah, mungkin hanya kebetulan."
"Semoga itu dugaanku saja."
Panca terdiam. Dia mengingat-ingat sesuatu.
"Ada apa? Apakah terjadi sesuatu di sini?"
"Ya, komplotan itu mengatakan jika rencananya berhasil membuatku menghampiri mereka."
"Jadi, komplotan itu benar-benar ada?"
Panca menganggukan kepala.
Bajra pun duduk di dipan bersama Panca. Anak bertubuh gempal itu ingin sekali mendengar cerita selanjutnya sebagaimana yang baru saja terjadi. Mereka berdua berbicara dengan serius tidak sebagaimana tadi pagi sebelum berangkat berjualan.
"Anna mengirim peta pada secarik kertas pada Tuan Eickman. Si Bruno yang membawa surat itu. Diselipkan di kalung lehernya."
"Ternyata anjing itu semakin pintar."
"Tentu saja. Tidak sia-sia Anna melatihnya."
"Terus?"
"Tidak beberapa lama kemudian, bantuan datang. Tuan Eickman dan beberapa anak buahnya menembaki penjahat itu."
"Mereka semua mati?"
"Itu yang belum bisa dipastikan. Maka dari itu, semua warga di sini diminta menghentikan pekerjaan. Mereka disiapkan untuk berjaga-jaga. Bila perlu, hingga malam."
"Kata wanita itu, jumlah mereka puluhan."
"Itu juga yang diketahui Anna dan Pratiwi. Jumlah tepatnya berapa, kita tidak tahu."
Panca terdiam. Bajra pun ikut terdiam.
"Lantas, apa yang harus kita lakukan sekarang?"
"Hanya menunggu di rumah dan berharap tidak terjadi apa-apa. Ayahku sudah memberi perintah demikian."
"Lalu, bagaimana keadaan Nyimas Pratiwi?"
"Lukanya sudah diobati. Sekarang, dia sedang istirahat di rumahnya."
"Lalu, Nona Anna?"
"Dia pulang bersama ayahnya."
Panca merebahkan tubuh di atas dipan. Dia merasa pagi itu begitu melelahkan. Bukan pagi yang indah seperti hari sebelumnya. Hari itu dimulai dengan kepanikan. Kemudian pertempuran skala kecil.
"Bukan pagi yang indah," Panca bergumam.
"Ya, aku pikir ini akan menjadi hari untuk memulai kembali berjualan. Setelah sebulan penuh kita terus dipusingkan urusan kasus pembunuhan di Sukabumi."
"Ini juga buntut dari masalah yang terjadi di Sukabumi."
Bajra berpikir sejenak, "aku jadi berpikir, jika Tuan Hasyim itu bukan orang yang suka bekerja sendirian. Orang itu memiliki banyak anak buah."
"Mengherankan, Tuan Hasyim berada di penjara. Ternyata, dia masih bisa mengatur anak buahnya dari balik penjara."
Bajra setuju dengan pandangan Panca. Mereka bisa membayangkan bagaimana seorang pimpinan komplotan pembunuh bayaran bisa mengatur kerja anak buahnya dari jarak jauh. Sungguh pemimpin yang cerdas.
"Raden, aku membayangkan jika menjadi Tuan Hasyim. Maka orang itu akan mengutus orang-orang kepercayaannya untuk datang ke tempat ini."
"Mereka orang-orang terlatih. Aku yakin mereka itu sudah merencanakan semuanya dengan terperinci."
Panca beranjak. Dia mengajak Bajra untuk berjalan-jalan keliling kampung. Keduanya membicarakan banyak hal. Diantara tema obrolan itu mengenai seekor domba betina yang baru saja melahirkan.
Mereka berdua berjalan ke kandang domba. Kandang yang dibuat dengan bahan kayu terbaik di sekitar hutan. Hal itu dimaksudkan agar tidak mudah rusak karena domba jantan suka mendobrak dengan tanduknya. Kandang yang kuat juga berguna melindungi anak domba dari kawanan hewan liar seperti anjing liar atau harimau yang mencari mangsa hingga ke perkampungan. Apalagi, saat ini ada seekor domba yang baru saja beranak.
Panca dan Bajra mendapati anak domba yang berumur belum sehari itu sedang menyusu pada induknya. Menyaksikan seekor domba betina yang sedang menyusui anaknya membawa kesenangan tersendiri bagi kedua anak remaja itu.
"Seekor domba jantan, tubuhnya tinggi dan besar," Panca tersenyum menyaksikan anak domba yang kelaparan.
"Domba yang sehat. Semoga saja dia bisa cepat besar. Bisa menjadi pengganti pejantan yang sudah tua."
"Sudah saatnya pejantan ini dikurbankan," Panca mengelus kepala seekor domba jantan yang memiliki tanduk besar. Melingkar hampir menyentuh matanya. "Sebentar lagi Idul Adha, menjadi kewajiban kita untuk mengorbankan hewan ini."
Panca dan Bajra senang memelihara hewan pemakan rumput itu. Apabila ada waktu luang, mereka sering membawa domba-domba jantan ke pekarangan luas untuk diadu. Domba yang saling beradu bisa menjadi hiburan menarik bagi warga desa.
"Ketika komplotan penjahat itu datang, domba-domba ini mengembik. Mereka berisik."
"Mereka bisa merasakan bahaya sebelum bahaya itu terjadi."
Bajra menganggukan kepala. "Raden, menurutmu, apakah komplotan itu tidak akan kembali datang?"
"Itu juga yang menjadi kekhawatiran semua orang. Bisa saja mereka datang di saat yang tidak diperkirakan."
Bajra memandang ke arah bukit tempat baku tembak yang terjadi tadi pagi. Kini bukit itu sepi. Seekor burung pun masih takut kembali. Mereka enggan terlibat dalam kemelut yang terjadi antara kelompok manusia.
"Bukit itu masih rimbun oleh pohon. Memang tempat yang cocok untuk bersembunyi."
"Mereka meninggalkan kuda di bawah bukit. Aku melihat jejak kaki kuda ketika berlari ke sini," Panca memberi penjelasan.
"Raden, jika jumlah komplotan itu banyak. Mungkinkah, sebenarnya mereka berbagi tugas?"
"Maksudmu?"
"Ada orang yang bertugas mengintai, menyerang bahkan ... mengalihkan perhatian."
"Mengalihkan perhatian?"
"Ya, apakah kau tidak berpikir jika ... baku tembak tadi pagi hanya permulaan ... untuk mengalihkan perhatian."
"Sebelum mereka melakukan serangan yang sesungguhnya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Panca dan Pembunuh Bayaran
Mystery / Thriller"Paman, sedang apa Paman Aditama di sini?" Anna menyaksikan seseorang yang dikenalnya sedang melangkah ke arah gerbong selanjutnya. Di belakangnya, ada seorang laki-laki berjubah sedang memegang pisau. Tangan laki-laki itu penuh dengan darah. Begitu...