26

63 23 0
                                    

"Di stasiun pemberhentian, aku melihat orang itu?" Anna berterus terang.

"Tuan Hasyim?" Panca memastikan.

"Ya."

"Kau yakin, Nona?" Pratiwi tidak ingin Anna salah melihat.

"Ya, aku yakin. Karena kami saling tatap."

"Dia hanya memastikan kedatangan kita ke tempat ini. Apalagi kita adalah rombongan terakhir."

"Apakah Tuan Eickman juga tahu?"

"Ya, ayahku sudah tahu akan hal itu."

Semuanya saling tatap.

"Apakah dia akan menjalankan rencananya di tempat ini?"

"Belum tentu. Di sini pengawalan sangat ketat. Dari lubang pintu, lubang jendela bahkan lubang angin pun dijaga oleh setidaknya seorang centeng," Bajra mulai melaporkan apa yang dia lihat.

"Bukankah dia orang yang pandai berkelahi?"

"Bukan begitu, ketika terjadi keributan ... maka akan mengundang perhatian. Dan, itu bukan hal yang dia inginkan," Anna menyimpulkan. "Jika dia mau, sejak dalam perjalanan dia bisa melakukan aksinya. Tapi, itu urung dilakukan. Dia ingin semuanya bersih. Tidak ada yang bisa menjadi tertuduh ... siapa orang yang menyuruh melakukan pembunuhan."

"Ya, bagi pembunuh bayaran, kerahasiaan majikannya itu yang terpenting." Panca mengemukakan pendapatnya sesuai dengan pengalaman hidup yang dialami.

"Lalu, kenapa ketika di gerbong kereta dia terang-terangan," Pratiwi mempertanyakan pendapat Panca.

"Itu bisa dianggap sebuah kegagalan. Mungkin dia tidak menyangka jika  sudah ada yang mencium gelagatnya sebelum dia beraksi."

Pratiwi mengerti arah pembicaraan teman-temannya.

"Selanjutnya, tidak ada yang bisa kita lakukan. Selain berhati-hati." Anna menatap temannya satu per satu.

"Ya. Kita harus bersama ke mana-mana. Jangan sampai terpisah."

Mereka berlima duduk di bawah pohon cemara di belakang bangunan utama. Di sana, tidak ada lagi bangunan kecuali tiga paviliun yang sengaja dibangun terpisah. Kemudian ada bangunan kecil berfungsi sebagai gudang.

Kandang ternak, gudang hasil bumi dan perumahan pegawai jauh dari sana. Sekitar seratus meter ke bawah bukit. Lebih tepatnya dekat dengan jalan raya. Sedangkan rumah Nyonya Edward terletak di atas bukit tepat di tengah hamparan kebun teh.

"Tempat ini jauh dari mana-mana. Cocok untuk melakukan aksi kejahatan," Bajra menyampaikan isi pikirannya.

"Jika aku pembunuh itu, maka aku akan melakukan itu di sini. Kalian paham maksudku kan?"

"Ya," Anna dan Pratiwi setuju.

"Sulit untuk mencari pertolongan."

"Semua tamu yang pernah ke sini paham akan situasinya. Maka dari itu mereka membawa banyak pengawal."

Anna menghela nafas sambil mengerlingkan mata. Dia memberi kode pada teman-temannya karena ada yang datang. Seorang jongos membawa obor yang belum dinyalakan ke arah pohon cemara.

"Paman, benda itu hendak dibawa ke mana?"

"Mau dipasang di sini. Karena kalau malam, di sini gelap."  

Panca memberi kode pada teman-temannya untuk menjauh dari seorang jongos yang sedang memasang obor. Anna mengerti kenapa demikian. Pratiwi masih kebingungan. Sedangkan perhatian Bajra masih mengajak bermain Si Bruno.

Anna berjalan ke arah jalan setapak yang terbentuk diantara pohon teh. Gadis itu seakan tidak pernah melihat pohon teh. Dia tampak senang.

"Nona, kau senang sekali. Seperti ...," Pratiwi berkomentar.

"Sssssttt, mereka mulai memperhatikan kita. Kita pura-pura jalan-jalan ke kebun teh," Anna memberi kode.

Mereka berlima menjauh dari para centeng yang menjaga kediaman Nyonya Edward. Bermaksud membicarakan hal penting yang tidak boleh diketahui oleh siapa pun yang ada di sana.

Mungkin para pengawal itu menyangka jika mereka hanyalah sekumpulan anak remaja yang hanya ingin pelesiran. Ikut serta Tuan Eickman dalam urusan bisnis kemudian pulang begitu saja tanpa melakukan apa-apa. Hal yang lumrah jika seorang anak ikut serta ayahnya melakukan perjalanan. Dan, si anak mengajak teman-temannya untuk sekedar mengusir kebosanan.

"Baiklah, Nona. Nanti, ketika para tamu sedang makan malam, apa yang harus kami lakukan?" Panca memulai wacana.

"Tentu saja, aku harus ikut serta makan malam. Tidak bisa menghindar, nanti dianggap tidak sopan."

"Jika begitu, kau mengikuti jamuan makan malam. Maka, kami bertiga harus berkeliling ke setiap sudut bangunan."

Semua menganggukan kepala.

"Nona, apakah kau sudah tahu denah ruangan di bangunan utama kediaman Nyonya Edward?" Bajra mengingatkan.

"Tidak, namun aku hanya tahu sebagian."

"Apa saja?"

"Hanya sebagian ruang tamu. Kemudian ada ruang tengah yang dipersiapkan untuk acara pertemuan nanti."

"Ada kamar-kamar yang mengapit ruangan tengah. Kamar itu besar kemungkinan milik Nyonya Edward dan anak-anaknya," Anna memberi perkiraan.

Mereka berempat membayangkan bagaimana keadaan rumah Nyonya Edward. Ketika membayangkannya, mereka berharap bisa menemukan titik terang. Siapa orang yang telah mengirim seorang pembunuh bayaran ke rumah Tuan Hofland dan mengakhiri hidup Tuan Edward di gerbong kereta api?

"Nona, ketika jamuan makan malam nanti, harus kau pastikan jika mereka   yang hadir bersedia membicarakan kejadian di gerbong kereta itu."

"Kenapa demikian?"

"Kau bisa melihat mereka satu per satu, siapa yang paling merasa bersalah."

Panca dan Pratiwi setuju atas usulan Bajra.








Panca dan Pembunuh BayaranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang