10

82 27 0
                                        

Anna duduk sendiri di kursi beranda. Memikirkan masalah yang sama; kekhawatirannya tentang niat Tuan Hasyim datang ke perkebunan milik ayahnya.

Si Bruno pun hanya tiduran di lantai, menunggu majikannya pergi ke suatu tempat. Seperti yang biasa dilakukannya setiap hari.

"Bruno, aku sedang malas pergi ke mana-mana."

Labrador berbulu cokelat itu mengedipkan matanya.

"Apalagi sekarang hari sudah panas. Nanti saja jika sudah teduh."

Lagi, Si Bruno mengedipkan mata. Sepertinya dia mengerti kenapa Anna lebih suka bermalas-malasan.

Matahari yang condong ke Barat menyorotkan sinarnya ke arah kaki gadis itu. Kaki jenjang tanpa sepatu. Namun, dia tidak menyadari sorotan itu sampai panas terasa menyengat kulitnya.

"Kau, sudah makan?"

Anna menoleh pada ayahnya yang bertanya dari arah belakang. Tuan Eickman tampak bersiap untuk bepergian. Memakai sepatu but warna cokelat. Kepalanya ditutup topi laken berbahan kulit lembu sebagaimana sepatu.

"Ayah, hendak pergi ke mana?"

Tuan Eickman memeriksa senapan di tangannya. "Ayo, ikut denganku. Pakai sepatumu, memakai topi dan bawa senapan."

"Kita akan berburu?"

Ketika mendengar kata "berburu" si Bruno terperanjat. Anjing labrador itu tampak bersemangat.

"Tapi aku sedang malas ke mana-mana. Apalagi berburu. Aku sedang ingin sendiri."

"Mungkin ini terkesan mendadak. Tapi, menurutku ini waktu yang tepat."

"Besok saja. Sekarang sudah hampir sore."

"Justru kita harus melakukan ini sebelum sore."

Anna berusaha melawan rasa malasnya. Dia berdiri, kemudian memakai sepatu. Mengambil topi yang tergantung di dinding serta senapan laras panjang yang senantiasa siap digunakan.

Gadis berambut pirang itu melangkah ke arah beranda dengan langkah gontai. Rasa malas itu masih tersisa di pikirannya.

"Lawan rasa malasmu, Nak!"

Anna mengerti jika berbicara tentang perasaan malas. Ayahnya akan berceramah panjang lebar tentang bagaimana rasa malas itu benar-benar bisa menghancurkannya.

"Kau bisa kalah oleh bangsa Pribumi karena kemalasanmu, ...."

"Iya, Ayah. Tidak perlu diteruskan. Ayah sudah berkali-kali mengatakan itu."

"Bagus jikalau kau sudah mengerti."

Anna menggantungkan tali senapan di bahu. Bukan bahu lebar sebagaimana yang dimiliki ayahnya. Bahu seorang gadis remaja yang baru tumbuh. Namun, bahu itu dipaksa untuk memikul beban berat.

"Baik, aku sudah siap. Kita akan ke mana?"

"Ayo ikut saja. Ayah ingin menunjukan sesuatu padamu," Tuan Eickman meyakinkan anaknya untuk ikut serta.

"Ah, Ayah hanya sekedar membuatku penasaran."

"Tidak, tidak begitu. Apa yang akan kutunjukan ... ini penting untukmu."

"Seberapa penting hingga Ayah harus menunjukannya padaku sekarang?"

Tuan Eickman menghela nafas. "Sangat penting. Bahkan ... sama pentingnya dengan nyawamu."

Anna menatap wajah ayahnya. Sepertinya ayahku tidak bercanda.

Panca dan Pembunuh BayaranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang