40

54 23 1
                                    

Panca senang ketika kereta melaju. Baginya, naik kereta api menjadi momen langka. Apalagi pemandangan di luar gerbong begitu menyejukkan mata.

Puncak gunung yang menjulang berhiaskan awan tipis serta seekor elang yang terbang diantara awan menambah ketenangan dalam jiwa. Jika malam tadi suasana begitu tegang, maka hari ini dia bisa sedikit tenang dengan memandang hijaunya rerumputan.

"Lihat, Raden! Ada seekor kerbau sedang membajak." Bajra seperti anak kecil yang belum pernah melihat kerbau.

"Di desa kita tidak ada kerbau, seperti menyenangkan jika memelihara sepasang saja," Panca memberikan ide.

"Untuk apa? Di desa kita tidak ada sawah," Pratiwi mengingatkan.

Si Bruno hanya melongo mendengar percakapan ketiga anak remaja itu. Sambil menikmati hembusan angin yang menyelusup melalui jendela gerbong. Dunia yang jarang ditemui oleh seekor anjing perkebunan. Apalagi, hewan itu lahir dan dibesarkan di perkotaan.

Namun, si Bruno seperti melihat sesuatu yang membuatnya ketakutan. Dia melompat dari atas kursi. Sambil menyalak sehingga penumpang yang lain mulai merasa terganggu.

"Hei, kenapa anjing kalian. Bisakah dia dibuat diam?"

"Maaf, Paman. Sepertinya dia ketakutan."

"Takut oleh apa?" seorang lelaki berbaju pangsi tanpa kancing bertanya keheranan. Ayam jago di pangkuannya terlihat tidak tenang.

Panca belum menemukan jawabannya. Tapi, Bajra segera tahu ketika dia melongok ke jendela.

"Ada yang datang, mereka berkuda."

Sontak, semua penumpang penasaran dengan keterangan Bajra. Mereka mendongakkan kepala ke luar jendela. Sebelum akhirnya ada yang melarang melakukan itu.

"Hei, hati-hati! Mereka perampok!" Kondektur memberi isyarat tegas. Si kondektur sengaja berlari dari gerbong depan untuk memberitahu penumpang akan tanda bahaya.

"Perampok?"

"Ya, merunduk dan jangan perlihatkan wajah kalian di jendela!"

Tentu saja mereka yang mendongak kembali menarik kepala. Mereka merunduk di bawah kursi. Berharap tidak diketahui oleh orang yang ada di luar.

Suara kaki kuda terdengar semakin dekat. Meskipun suaranya tersamarkan oleh deru mesin lokomotif dan gesekan roda dengan rel, tapi suara kuda berlari begitu mudah dikenali karena jarak mereka yang dekat.

"Mereka lima orang," Bajra menghitung penunggang kuda itu.

"Bukan, di sisi kiri ada lima orang lagi," Panca pun sama-sama menghitung.

Pratiwi tidak berani mendongak. Gadis itu memeluk si Bruno sambil menenangkan anjing itu dengan mengusap punggungnya. Sebagaimana penumpang lainnya, Pratiwi lebih suka duduk di bawah kursi sambil berharap tidak terjadi hal yang buruk.

"Kemana para pengawal? Apakah mereka tahu?"

Panca mempertanyakan tiga pengawal  Tuan Eickman yang ditugaskan untuk berjaga-jaga. Anak remaja itu merangkak menuju sambungan antar gerbong.

"Raden, kau mau ke mana?" Bajra penasaran.

"Anna, aku yakin mereka mengincar Anna dan Tuan Eickman."

"Bagaimana kau yakin?"

"Mereka bertopeng, Bajra. Topeng yang sama dengan Tuan Hasyim."

Tentu saja Pratiwi pun tidak ingin ditinggal ketika melihat kedua sahabatnya berusaha menuju pintu antar gerbong. Gadis itu mengajak si Bruno untuk berlari ke arah pintu antar gerbong.

Melihat kelakuan ketiga remaja itu, penumpang lain memberi peringatan.

"Hei, kalian mau ke mana?"

"Diam saja di sini!"

Tentu saja mereka bertiga berkeberatan ketika disuruh diam di tempatnya semula. Tidak ada waktu untuk menjelaskan pada penumpang lain alasan kenapa mereka ingin berpindah gerbong.

Ketika Panca membuka pintu, angin berhembus kencang. Kaget sekaligus heran karena tidak ada pengawal yang sedari tadi berdiri di sana. Sejak keberangkatan dari Stasiun, seorang pengawal ditugaskan Tuan Eickman untuk berjaga-jaga di balkon ujung gerbong. Gerbong kereta kala itu memiliki area seperti balkon yang berguna untuk petugas keamanan berjaga-jaga. Berguna juga untuk orang yang ingin merokok tanpa mengganggu penumpang lain.

Namun, pengawal yang dimaksud tidak ada lagi di tempatnya. Panca curiga di terjatuh. Dan, benar saja dugaannya. Pengawal itu sudah terkapar di pinggir rel. Sepertinya dia tewas.

"Benar dugaanku, mereka langsung menuju ke gerbong kelas I."

"Apakah mereka anak buah Tuan Hasyim?"

"Kita akan segera tahu jawabannya!"

Panca berusaha melompat ke gerbong kelas II. Kemudian masuk ke dalam. Diikuti oleh Bajra, Pratiwi dan si Bruno, mereka berlari di ruang kosong antar kursi.

"Maaf, Tuan dan Nyonya."

Penumpang gerbong kelas II terheran-heran dengan kawanan remaja serta seekor anjing yang berlari melintas. Mereka berjalan tergesa hingga sampai di ujung gerbong.

"Kalian mau ke mana?"

"Tuan Kondektur, teman kami dalam bahaya."

"Aku tahu. Mereka sudah menguasai gerbong depan."

"Kenapa anda masih di sini?"

"Memangnya aku harus di mana. Mereka bersenjata ...."

Panca tahu jika kondektur itu ketakutan. Wajahnya terlihat gemetar.

"Tuan Kondektur, apakah anda mengenal mereka?"

Si Kondektur menggelengkan kepala. "Tapi, aku diberi peringatan oleh Kepala Stasiun, jika mereka bisa saja datang."

"Diberi peringatan?"

"Ya, polisi memberi peringatan ... agar memberikan perhatian khusus pada Tuan dan Nona Eickman."

"Nah, dia teman kami."

"Sebaiknya kalian jangan masuk ke gerbong ke kelas I. Polisi sudah memperingatkan kami, bisa saja mereka membalas dendam. Dan, ternyata benar. Aku pikir mereka tidak akan datang secepat ini."

Panca menoleh pada Bajra dan Pratiwi.

"Kita sudah berjanji pada Anna, untuk saling melindungi." Pratiwi meyakinkan Panca.

"Hei, sebenarnya apa yang telah terjadi pada kalian? Mengapa dikejar-kejar seperti ini?"

Panca menatap si kondektur, "tanyakan saja pada Kepala Stasiun, Tuan."

Panca membuka pintu penghubung antar gerbong. Angin berhembus kencang. Dia menghela nafas sambil membulatkan tekad. Kemudian mengangguk pada kedua temannya.

"Hei, apa yang akan kalian lakukan?" 

 

Panca dan Pembunuh BayaranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang