30

64 24 0
                                        

Anna memaksakan diri masuk ke dalam paviliun meskipun pengawal sudah melarangnya.

"Nona, sebaiknya jangan masuk. Nona tidak akan sanggup melihatnya," seorang pengawal mengikuti Anna masuk ke dalam paviliun.

Namun, itu terlambat. Gadis itu sudah melihat Tuan William terkapar di depan kamarnya. Darah berceceran ke segala arah.

"Ayo, Nona. Kita keluar," pengawal itu memegang tangan Anna.

Tubuh gadis itu seketika menjadi lunglai. Rasa penasaran berubah menjadi rasa takut sekaligus rasa bersalah. Merasa bersalah karena sudah berprasangka buruk pada Tuan William.

Lutut Anna lemas. Wajahnya semakin pucat.

Tentu saja Pratiwi, Panca dan Bajra bertanya-tanya sebenarnya apa yang tengah terjadi di dalam sana. Mereka ingin bertanya banyak hal namun melihat Anna seperti terguncang membuat mereka tidak tega. Sahabatnya itu tidak bicara sepatah kata pun. Pratiwi tampaknya merasakan kepiluan yang dirasakan Anna. Gadis itu saling berpelukan.

Sedangkan Panca dan Bajra mundur dan memberi mereka ruang. Kedua anak itu mempersilakan para tuan tanah yang menjadi tamu Nyonya Edward untuk mendekat ke arah paviliun.

"Mereka terlihat panik, Raden," Bajra berbisik.

"Tentu saja, siapa yang tidak panik dengan kejadian seperti ini."

Panca dan Bajra bersender di pohon cemara. Mereka tahu situasi menjadi tidak terkendali. Tuan Eickman terlihat marah-marah. Tentu saja puluhan centeng yang berjaga dirasa tidak berguna ketika orang yang dijaga malah terbunuh.

Tuan Robert dan Tuan David terlihat gugup. Mereka lebih merasa takut dibanding ingin marah-marah sebagaimana Tuan Eickman. Mereka tidak berani masuk ke dalam paviliun. Hanya melihat dari depan pintu luar kemudian mereka berdua menjauh. Hampir sama seperti Anna, wajah mereka pucat dan terlihat tegang. Sebagaimana kebiasaan seorang lelaki, sebatang rokok bisa mengurangi ketegangan.

"Kita tunggu polisi menyelidiki, jangan sampai ada yang menyentuh jenazahnya. Pastikan itu!" Tuan Eickman berteriak pada seorang centeng bertubuh kurus yang berdiri di depan pintu.

"Hei, kalian," Tuan Eickman bertanya pada Panca dan Bajra, "ada yang melihat orang asing berkeliaran di sekitar tempat ini?"

"Tidak ada, Tuan."

"Benarkah?"

Tuan Eickman menatap Panca dan Bajra.

"Tadi, kalian di mana?"

"Di bawah pohon cemara itu, Tuan. Tiba-tiba kami mendengar Nyonya William berteriak," Panca menjelaskan.

"Ketika kalian mendekat, apakah para pengawal ini ....?"

"Tidak, Tuan. Mereka tetap berada di tempat masing-masing. Sebagaimana sebelumnya."

"Kalian yakin?"

"Kami yakin. Karena, orang yang pertama kali masuk ke dalam paviliun adalah Nona Anna. Kemudian diikuti oleh seorang pengawal yang berdiri di depan pintu. Ternyata, seperti yang Tuan lihat."

Tuan Eickman seperti kebingungan, "kalau begitu. Lewat mana pembunuh itu masuk?"

Panca dan Bajra bertambah heran.

"Pintu terkunci dari dalam, Tuan. Nyonya William yang membukakan pintu sebelum akhirnya dia pingsan."

Panca dan Bajra tertunduk lesu. Melihat suasana begitu kalut, mereka hanya bisa terdiam. Tidak ada yang bisa dilakukan. Memperhatikan Anna yang terus menangis tersedu-sedu. Ditemani Pratiwi, gadis itu seperti merasakan sesuatu yang sulit diceritakan. Hanya bisa disampaikan melalui air mata yang mengalir deras.

Semua acara hiburan dihentikan padahal masih banyak waktu tersisa. Para penari dan pemain musik dikumpulkan tengah pekarangan. Mereka tidak diperbolehkan pulang sebelum polisi datang.

Dalam kejadian ini, tentu saja Nyonya Edward yang tampak paling terpukul. Wanita tua itu hanya bisa duduk di kursi beranda dengan tubuh lemah terkulai. Gaun hitam yang dikenakannya malah menjadi pesan untuk menyambut kemalangan yang berlanjut.

"Raden, kita harus bagaimana?" Bajra bingung dengan keadaan dihadapannya.

"Tunggu semuanya mereda," Panca memperhitungkan berbagai kemungkinan.

"Raden, jika pintu dan jendela terkunci dari dalam, lalu ... lewat mana pembunuhnya masuk ke dalam paviliun?"

"Itu juga yang menjadi pertanyaanku."

Panca memperhatikan bangunan paviliun di belakangnya. Semua sisi dijaga oleh centeng yang siap mencabut golok di pinggang. Aneh, rasanya jika dia bisa masuk tanpa diketahui.

"Lewat atap?" Bajra memberi perkiraan.

Panca melihat ke genteng. Ternyata sudah ada orang yang memeriksa. Dia melambaikan tangan. Tidak ada tanda jika pembunuhnya masuk melalui atap.

"Terjawab sudah pertanyaanmu," Panca melirik temannya.

Mereka berdua duduk bersandar di batang cemara. Menunggu waktu sambil berharap polisi segera datang dan menyelesaikan urusan.

"Si Bruno mana? Dia belum kembali?"

Anjing itu berlari menghampiri, "pertanyaanmu terjawab sudah, Raden."

"Hei, kau ke mana saja? Apakah musang itu sudah kau ...?"

Si Bruno seakan tidak peduli dengan pertanyaan Panca. Dia malah menggigit celana Bajra. Anjing itu mengajak Bajra ke suatu tempat.

Tentu saja Bajra tidak ingin celananya sobek. Dia mengikuti keinginan si Bruno. Panca pun heran dengan kelakuan anjing itu. Dia meraih obor yang terikat di pohon cemara. Membawa benda itu sebagai penerangan.

Mereka bertiga berjalan ke arah jalan setapak diantara pohon teh. Jalan setapak yang dilalui si Bruno ketika mengejar seekor musang. Tanpa banyak bertanya, Panca dan Bajra mengikuti ke mana si Bruno melangkah.

Setelah berjalan beberapa saat, tibalah mereka di semak-semak. Si Bruno berputar-putar di depan bangkai musang. Tubuhnya masih hangat.

"Hewan ini digorok," Panca menyimpulkan.

Bajra langsung memegang golok di pinggang. Bersiap dengan berbagai kemungkinan.

Mata si Bruno mengarah ke semak-semak. Dan, Panca paham maksud hewan itu. Dia melangkah dengan obor di tangan. Menyingkap rumput yang menjalar menutupi tanah.

"Sebuah lubang," Bajra menyimpulkan, "hati-hati."

Obor diarahkan ke dalam lubang. Tampak lubang yang memanjang hingga ke dalam tanah. Ukurannya tidak besar. Diameternya tidak lebih dari setengah meter.

"Ini bukan lubang alami. Seseorang pasti telah menggalinya," Panca memberi perkiraan.

"Raden, apakah kau memikirkan apa yang kupikirkan?"

Panca dan Pembunuh BayaranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang