Panca dan Bajra menyaksikan sesuatu yang tidak biasa di kediaman Tuan Eickman. Dari kejauhan, terlihat keributan di sana. Kedua anak remaja itu tidak bisa menahan perasaannya untuk mencari tahu, apa yang sebenarnya terjadi di sana?
"Raden, apakah kita hanya akan berdiri di sini?"
"Aku sendiri bingung, Bajra." Panca memandang lurus ke depan.
"Bagaimana kalau kita mencari tahu sendiri apa yang tengah terjadi?"
Panca menoleh pada Bajra yang bersender pada sebatang pohon jati. Keduanya diliputi kekhawatiran yang semakin besar setelah menyaksikan sesuatu yang tidak biasa di pekarangan rumah Anna. Dari kejauhan, mereka bisa menyaksikan bagaimana orang-orang berlarian ke arah hutan.
"Apakah, di sana tengah terjadi penyergapan?" Bajra mencoba memperkirakan.
"Itu juga yang aku pikirkan. Komplotan penjahat itu sepertinya belum kapok."
"Kekalahan mereka di bukit belakang perkampungan ketika pagi, sepertinya hanya cara mereka untuk memancing Tuan Eickman dan anak buahnya untuk meninggalkan rumah."
Panca mengepalkan tangan. Dia merasa kesal dengan keadaan yang tengah terjadi. Satu sisi, mereka berdua ingin sekali menghampiri rumah Anna dan memastikan apa yang tengah terjadi. Di sisi lain, mereka berdua diperintahkan untuk tetap berada di perkampungan.
"Tapi, Ki Lurah melarang kita untuk pergi," Bajra mengingatkan Panca akan perintah ayahnya.
"Ya, aku juga ingat akan hal itu."
Mereka berdua kembali mengarahkan pandangan ke sebelah timur. Arah dimana orang-orang yang dikenal sebagai pegawai perkebunan Tuan Eickman terlihat berlarian. Ada yang berlari ke arah kandang ternak. Bahkan, terlihat orang yang menenteng senapan ke arah hutan di sebelah selatan dengan berlari kencang.
"Mereka terlihat panik, Raden."
"Ya, orang-orang itu berlarian."
"Berlarian ... ke arah yang sama."
Panca menoleh pada Bajra. Terlintas sesuatu dalam pikirannya. Panca pun teringat ada Bajra tentang kejadian baku tembak tadi pagi.
"Apakah komplotan penjahat itu sekedar memancing orang-orang untuk pergi meninggalkan pos masing-masing?"
"Ya, Bajra. Sepertinya demikian."
Panca dan Bajra masih melihat dari kejauhan dengan pandangan yang seksama. Apa yang mereka perbincangkan baru saja pendapat pribadi. Namun, pendapat itu dikuatkan dengan kenyataan yang tersaji di depan mata.
"Perhatikan, Tuan Eickman dan para pegawainya kembali pulang. Mereka kembali ke pos jaganya masing-masing!"
"Ternyata benar dugaan kita, ada sesuatu yang membuat orang-orang itu kembali dalam waktu cepat."
Panca dan Bajra saling tatap. Kemudian, mereka pun memperhatikan keadaan di sekitar. Kampung dalam keadaan sepi. Sesuatu yang tidak biasa. Karena, biasanya Desa Pujasari ramai dengan beragam kegiatan saat tengah hari.
"Orang-orang lebih suka tinggal di rumah masing-masing," Bajra menyimpulkan keadaan.
"Ya, tapi lihatlah ke arah kebun bambu. Ada orang yang sedang berkeliling, mengamati keadaan kampung."
"Ya, di pos ronda juga ada yang sedang berjaga. Kalau kita pergi, ayahku bisa marah."
"Tapi, saya tidak tenang jika hanya diam di sini. Ingat, Raden, sasaran kejahatan komplotan itu bukan kita tapi Anna."
"Ya, sepertinya begitu. Buktinya, Pratiwi hanya dilukai. Dia dibuat lemah agar tidak membantu Anna. Komplotan itu tidak menginginkan kita."
"Jadi, aku yakin komplotan itu tidak akan mengganggu lagi orang-orang kampung. Dan, kita tidak usah merisaukan tetangga-tetangga kita."
Mereka berdua bicara sambil merunduk. Perlahan kaki kecil mereka bergeser. Melangkah menuruni bukit. Menyusuri jalan setapak yang terbuat karena seringnya orang lalu-lalang. Daun ilalang menghalangi langkah kaki sehingga melukai kaki telanjang nan berdebu kedua anak remaja itu.
Dalam waktu beberapa saat, Panca dan Bajra sampai di sungai kecil yang menjadi batas antara lahan milik Tuan Eickman dengan lahan milik Lurah Bakti. Kedua anak remaja itu berlari menyeberangi sungai melalui batu-batu yang terhampar. Telapak kaki mereka meniti batu yang mengkilat karena begitu sering tersapu air.
Seekor ikan gabus terperanjat. Makhluk air itu merasa terganggu ketika dia sedang menikmati terpaan sinar matahari yang menghangatkan tubuhnya. Riak air terbentuk karena ekor si ikan berayun kemudian menjauh dari pandangan. Hal yang tersisa, gambaran dua remaja yang melompat dan setengah melayang. Air jernih laksana cermin yang memantulkan apa pun yang terjadi di atasnya.
"Raden, tunggu. Lihatlah ke arah jendela," Bajra menepuk pundak Panca.
"Kenapa?"
"Perhatikan, di luar jendela banyak orang yang berkerumun."
Panca dan Bajra berhenti berlari. Tubuh mereka terhalang oleh gundukan tanah di dekat kolam ikan, sehingga kedatangan keduanya tidak diketahui siapa pun. Gundukan itu terbentuk setelah si empunya lahan membuat kolam ikan yang tidak jauh dari aliran sungai.
"Tuan Eickman ... sepertinya akan menembak seseorang."
"Ya, dugaanku ... Anna sedang dalam bahaya."

KAMU SEDANG MEMBACA
Panca dan Pembunuh Bayaran
Mistério / Suspense"Paman, sedang apa Paman Aditama di sini?" Anna menyaksikan seseorang yang dikenalnya sedang melangkah ke arah gerbong selanjutnya. Di belakangnya, ada seorang laki-laki berjubah sedang memegang pisau. Tangan laki-laki itu penuh dengan darah. Begitu...