Keesokan harinya ...
Anna senang ketika turun dari kereta kuda. Perasaan yang sulit dimengerti oleh ayahnya karena laki-laki itu tahu jika mereka akan melakukan perjalanan tidak biasa. Perjalanan yang terpaksa dilakukan meskipun hatinya enggan.
Tuan Eickman setidaknya lebih lega karena ketiga sahabat Anna yang menyertai bisa mengubah perasaan anak gadis itu 180°. Jika sebelumnya dia enggan untuk ikut serta, namun kali ini dia yang paling bersemangat.
"Nona, kereta apinya belum tiba?" Pratiwi memperhatikan keadaan stasiun yang sepi.
"Belum, kita tunggu saja."
"Masih lama kah?" Panca menurunkan ransel dan buntalan yang berisi pakaian ganti.
"Lumayan."
Hari masih pagi. Terlalu pagi untuk menunggu kereta api berangkat dari stasiun. Tapi, tidak ada cara lain jika tidak ingin tertinggal keberangkatan kendaraan bertenaga uap itu. Sebetulnya, mereka bisa menggunakan kereta kuda untuk menuju Sukabumi. Hanya saja, membutuhkan waktu dan tenaga ekstra untuk sampai di sana. Jalan yang berliku-liku dan menerobos hutan bisa menjadi ancaman.
"Setidaknya, kalau kita menggunakan kereta api bisa tiduran sambil menikmati perjalanan," Anna tetap ingin melakukan itu.
"Ya, tapi terus terang ...," Tuan Eickman tidak meneruskan kalimatnya.
"Ayah, tenang saja. Aku bisa menjaga diri. Aku berjanji, kali ini aku akan menjadi gadis yang baik selama perjalanan."
Tuan Eickman memilih langsung menuju peron. Diikuti oleh keempat anak remaja itu serta tiga pengawal, mereka seperti serombongan orang yang akan melakukan perjalanan jauh.
Kepala Stasiun menyambut mereka dengan keramah tamahan yang khas. Anna tidak pernah tahu, apakah Kepala Stasiun benar-benar mengenal ayahnya atau hanya sekedar basa-basi. Kumis pirang laki-laki itu seperti seekor ulat yang bergerak-gerak di bawah hidungnya yang mancung.
Ketika Tuan Eickman menyelesaikan urusan tiket, Anna dan yang lainnya menunggu di kursi tunggu penumpang. Hanya ketiga pengawalnya yang enggan duduk. Mereka lebih suka berdiri sambil mengamati keadaan.
***
Hampir satu jam menunggu, lokomotif itu tiba juga. Panca, Bajra dan Pratiwi baru kali ini melihat kereta api dari dekat. Mereka terperangah menyaksikan benda bermesin itu.
"Wah, terlihat gagah," Bajra senang menyaksikan bagaimana lokomotif bercat hitam di depannya mampu menarik tiga gerbong sekaligus.
Panca dan Pratiwi mengangguk setuju dengan pernyataan Bajra.
Akhirnya, waktu yang dinanti telah tiba. Si kereta api siap untuk kembali berangkat. Semua penumpang masuk sesuai dengan tiket yang dipesan.
"Ternyata penumpangnya banyak juga, ya," Panca heran ketika satu per satu orang berdatangan ke stasiun dan memadati gerbong.
"Mereka hendak pelesiran," Tuan Eickman bisa menerka kenapa penumpang begitu banyak. "Kata Kepala Stasiun, semua tiket hampir habis."
Anna dan yang lainnya menganggukan kepala pertanda mengerti. Mereka membawa perbekalan masing-masing kemudian masuk ke gerbong.
"Maaf, aku tidak bisa membawa kalian ke gerbong yang sama denganku," Anna tersenyum sambil melambaikan tangan.
"Tidak apa, Nona. Justru kami berterima kasih sudah diajak ...."
Pratiwi menepuk pundak Bajra.
"Kenapa?"
"Ingat, seharusnya dia yang berterima kasih pada kita."
Anna berteriak sambil naik ke gerbong, "aku masih mendengar, hai gadis desa!"
Panca dan Bajra tertawa geli apabila melihat kedua gadis itu mulai bertengkar. Tentu saja itu sebuah hiburan bagi mereka sebelum keceriaan itu hilang. Karena, selanjutnya bisa jadi merupakan perjalanan yang penuh tantangan. Sebagaimana yang telah mereka perkirakan sebelumnya.
Tuutt ... Tuutt ...
Peluit lokomotif ditiup dengan uap yang masuk melalui pipa dekat ruangan masinis. Pertanda jika lokomotif sudah siap untuk kembali berjalan.
Anna sudah duduk di bangku depan bersama ayahnya. Kali ini, mereka duduk berhadapan dengan pasangan yang hendak pelesiran.
"Anda mau pergi berwisata juga?"
"Sebenarnya ada urusan perusahaan. Namun, sekalian berwisata juga," Tuan Eickman beramah tamah dengan pasangan berwajah Eropa itu.
Selebihnya, mereka bicara banyak hal tentang kehidupan masing-masing. Anna pun belajar untuk beramah tamah dengan orang yang baru dikenal. Apabila di rumah hanya bertemu orang-orang yang sama maka di gerbong kereta dia benar-benar bertemu dan harus bercengkrama dengan orang baru.
Ketika matahari sudah semakin meninggi dan memancarkan sinarnya, maka wajah gadis itu pun terpapar olehnya. Dia berusaha mencari hembusan angin yang masuk melalui jendela.
Asap lokomotif terlihat membumbung ke langit menghiasi udara. Tiba waktunya ular raksasa itu meliuk-liuk di antara kawasan pesawahan dengan latar gunung yang tinggi menjulang.
Anna mengeluarkan kepalanya untuk menengok bagaimana gerbong berjalan beriringan. Ternyata dari gerbong kelas III ada lambaian tangan. Tangan yang dibalut baju kebaya.
"Pratiwi!"
Anna tertawa senang ketika diantara mereka bisa saling melambaikan tangan dan saling bertatapan. Kebetulan waktu itu rangkaian gerbong sedang melewati sebuah tikungan sehingga Anna bisa melihat bagaimana gerbong belakang terlihat seperti masih tertinggal.
"Anna, masukan kepalamu," Tuan Eickman menepuk pundak anak gadisnya.
"Iya, Ayah."
Anna mengerlingkan mata kemudian memandang pada dua penumpang di didepannya.
***
Bagi Anna, perjalanan begitu menjenuhkan setelah itu. Sisa waktunya itu hanya untuk mendengarkan penumpang di depannya bicara banyak hal yang tidak dimengertinya. Hingga akhirnya, mereka tiba di sebuah stasiun kecil sebelum Sukabumi. Di papan nama gedung stasiun itu tertulis "Tjigombong".
"Ah, akhirnya mereka turun," Anna menghela nafas.
"Hei, sayang. Kau harus belajar beramah tamah dengan orang baru. Ingat, kau akan tumbuh dewasa dan ada saatnya kau akan seperti mereka."
"Ayah," Anna memeluk ayahnya, "entahlah, aku belum bisa berpisah dengan Ayah."
"Sama, sayang. Tapi, takdir perpisahan itu ada. Dan, kita harus siap menerimanya."
"Ayah jangan bicara demikian, aku menjadi sedih."
Mata Anna kembali melongok ke luar jendela. Di ujung stasiun, ada seseorang sedang berdiri. Anna sangat kenal orang itu. Mereka sempat saling bertatapan. Namun, orang itu melengos kemudian berjalan meninggalkan tempatnya berdiri.
"Kenapa? Siapa yang kau lihat?"
"Bukan siapa-siapa."
"Katakan saja, agar ayahmu ini bisa tenang."
Anna menghela nafas, "laki-laki Arab itu lagi, Ayah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Panca dan Pembunuh Bayaran
غموض / إثارة"Paman, sedang apa Paman Aditama di sini?" Anna menyaksikan seseorang yang dikenalnya sedang melangkah ke arah gerbong selanjutnya. Di belakangnya, ada seorang laki-laki berjubah sedang memegang pisau. Tangan laki-laki itu penuh dengan darah. Begitu...