"Polisi belum tiba juga, jauhkan pos polisi dari sini?"
"Ini perkebunan. Dari perkampungan pun jauh. Apalagi dari pos polisi, jauh." Anna kembali menutup jendela kemudian menguncinya.
"Perkiraan saya, polisi akan datang sangat terlambat. Apalagi sudah malam seperti ini," Pratiwi memperkirakan.
"Dan, di waktu itulah pembunuh itu akan menyelesaikan aksinya," Anna membuka pintu kamar.
Selagi berbicara, ternyata di depan pintu sudah berdiri sang tuan rumah, Nyonya Edward. Sepertinya dia bermaksud memeriksa keadaan tamunya. Memastikan tamunya yang "tersisa" tidak pergi ke mana-mana dan tetap berada di dalam rumah.
"Nona Anna, apa yang akan kau lakukan? Kau berganti pakaian ... kau juga?"
"Iya, Nyonya. Hanya berjaga-jaga."
"Kita akan tetap di sini dan tidak ke mana-mana."
"Ya, kami tidak akan ke mana-mana."
"Tapi, pakaian kalian seperti ...."
Anna menghela nafas panjang. Dia memegang tangan Nyonya Edward setelah sebelumnya menggantungkan senapan di bahu.
"Nyonya, pernah mendengar ungkapan ... pertahanan terbaik adalah menyerang?"
Nyonya Edward kini terdiam. Dia masih berdiri di depan pintu dan tidak memberi jalan bagi Anna untuk ke luar.
"Nona, di luar sudah banyak pengawal ...."
"Pengawal? Anda berbicara tentang pengawal?"
Nyonya Edward tersinggung dengan nada suara gadis remaja itu. Bagaimanapun dia adalah orang tua yang harus dihormati oleh seseorang dengan umur jauh di bawahnya. Bahkan, Anna lebih cocok disandingkan dengan cucunya yabg baru saja menikah.
"Maaf, Nyonya. Saya tidak bermaksud berbuat tidak sopan. Tapi, ini bukan waktunya kita berdebat."
"Sebagai wanita ...."
"Ya, saya tahu semua urusan telah diserahkan pada laki-laki. Namun, apakah kaum laki-laki mampu menyelesaikan ini?"
Suara Anna terdengar hingga ke telinga Tuan David yang masih duduk di kursi ruang tengah. Nyonya Edward pun menyadari jika tamunya itu sedikit tersinggung dengan suara Anna yang meninggi. Pria itu tahu gadis di dalam kamar sedang menyindirnya.
Nyonya Edward tidak bisa lagi menghalangi Anna. "Jika Nyonya khawatir akan keselamatan kami, maaf. Tapi, kami sendiri pun khawatir dengan keselamatan kami. Maka dari itu, kami harus berbuat sesuatu."
Wanita tua itu bergeser dari tempatnya semula berdiri. Dia menatap Anna dan Pratiwi yang berjalan ke arah ruang tengah. Diikuti oleh Pratiwi, gadis itu menuju rak yang berisi hiasan piring keramik. Dibukanya rak, tidak tampak apa pun kecuali peralatan makan antik. Akan dipakai jika ada acara khusus.
"Lukisannya indah," Pratiwi berkomentar tentang lukisan yang tertera di muka piring keramik.
"Jangan perhatikan itu."
Anna memeriksa belakang jam lemari berukuran setinggi manusia. Gadis itu membawa lilin untuk menerangi.
"Apa yang kau lakukan, Nona?" Tuan David bertanya keheranan.
Anna tidak langsung menjawab.
"Kau seperti mencari sesuatu?"
"Tuan, pernahkah terpikir oleh Tuan. Bagaimana pembunuh itu bisa masuk ke dalam paviliun tanpa ada yang memergokinya?"
Tuan David memandang Anna. Tangannya mematikan sigaret dengan menekan ke asbak. Tidak ada lagi asap. Tersisa asap lilin dan lampu minyak yang kecil.
Melihat Anna dan Pratiwi memeriksa seluruh ruangan, Nyonya Edward hanya bisa terdiam. Dia duduk di kursi makan kemudian ditemani oleh Nyonya David. Wanita tua itu tidak bisa melarang ketika melihat si gadis tidak lagi memperhatikan norma kesopanan ketika masuk ke dalam kamar pribadi sang tuan rumah.
Anna membuka pintu dengan menenteng senapan. Diikuti oleh Pratiwi yang siap mengawal. Matanya hanya tertuju pada sudut-sudut gelap ruangan itu. Dibantu sinar lilin yang temaram, Anna menyibakan kelambu, bahkan pakaian yang tergantung di lemari.
"Tidak ada yang mencurigakan, Nona."
"Memang, lantas ruangan mana lagi yang belum diperiksa?"
"Di dapur. Tapi, Tuan David sedang memeriksanya."
Anna menghela nafas. Dia kecewa karena tidak menemukan apa yang dicari.
Pratiwi sedikit heran ketika mendapati Anna memikirkan sesuatu. Dia tidak mau mengganggu temannya itu. Namun, tentu saja Pratiwi penasaran dengan apa yang dipikirkan gadis Eropa itu. Kerut keningnya begitu nyata ketika cahaya lilin mendekat.
"Lalu, apalagi yang akan kita lakukan?"
"Tetap mencari, Pratiwi. Cari kira-kira di mana dia akan muncul."
"Di atap?"
"Di manapun itu."
Anna berdiri, memperhatikan plafon. Kedua tangannya erat memegang senapan. Tanpa sadar, langkah kakinya terayun ke depan. Kemudian keluar dari kamar Nyonya Edward. Tentu saja Pratiwi setia mengikuti dari belakang.
Suara sepatu but gadis itu terdengar beradu dengan lantai. Bola mata cokelat Anna tertuju pada setiap jengkal langit-langit rumah. Warna putih nyaris tanpa bercak dihiasi lampu gantung warna keemasan. Kesan mewah masih terpancar dari ruangan itu meskipun suasana sedang tidak mendukung.
Praakkk!
Suara benda jatuh terdengar dari arah dapur. Anna mengarahkan pandangan ke pintu dapur. Pratiwi segera berlari ke arah yang dimaksud.
Namun, gadis itu malah keluar dari dapur dengan jalan mundur. Dia mundur perlahan.
"Ada apa?" Anna menenteng senjata mendekati Pratiwi.
Pratiwi tidak menjawab malah mengangkat tangan tanpa menoleh.
"Oh, ternyata kau sudah di sini ... lepaskan Tuan David, atau ... kutembak ...!"
![](https://img.wattpad.com/cover/312265539-288-k910900.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Panca dan Pembunuh Bayaran
Mistério / Suspense"Paman, sedang apa Paman Aditama di sini?" Anna menyaksikan seseorang yang dikenalnya sedang melangkah ke arah gerbong selanjutnya. Di belakangnya, ada seorang laki-laki berjubah sedang memegang pisau. Tangan laki-laki itu penuh dengan darah. Begitu...