Bajra terdiam. Sikapnya membuat bingung orang-orang di sekitarnya.
"Bajra, kau baik-baik saja kan? Kau tidak sedang kesurupan?" Pratiwi mencoba menggodanya.
Bajra hanya tersenyum kecut.
"Katakan saja apa yang ada dalam pikiranmu?" Panca mencoba memahami cara berpikir sahabatnya.
Bajra masih terdiam.
"Jangan katakan jika kau tertarik dengan kasus ini?" Anna malah tersenyum dan menatap wajah Bajra, "kau pasti memikirkan kata-kataku ...."
"Perkataanmu yang mana?" Pratiwi penasaran.
"Anak ini berpikir seperti polisi. Harus menemukan bukti terlebih dahulu sebelum menangkap orang yang berniat jahat ...."
"Ternyata, malah bertambah lagi korban selanjutnya," Pratiwi menambahkan maksud Anna.
"Kau cerdas, gadis desa."
Pratiwi sepertinya tersinggung dengan kalimat yang terlontar dari mulut Anna.
"Kau memujiku sekaligus merendahkanku."
"Aku tidak merendahkanmu!"
"Tapi kau menyebutku 'gadis desa' !"
"Kenyataannya kau adalah gadis desa! Apa yang salah dengan itu?!" Anna berteriak kemudian terdiam lalu berucap, "maafkan aku. Jangan diambil hati, ya."
Ketika Anna sedang merajuk pada Pratiwi, ternyata Bajra mengalihkan pembicaraan.
Bajra kemudian berkata, "aku pikir, pembunuhan ini akan terus berlanjut ... sebelum semua orang yang menjadi penumpang di gerbong kereta api itu ...."
"Semuanya terbunuh ...," Panca menambahkan.
Anna menatap ke arah Tuan Eickman yang berdiri jauh dari tempat keempat anak remaja itu berdiri. Laki-laki itu terlihat sibuk mengecek hasil kerja para pegawainya di dekat gudang. Anna merasa jika ayahnya tetap akan menjadi sasaran pembunuhan berantai yang mungkin sekali terjadi kembali setelah sebelumnya gagal.
"Aku hanya penasaran, apa motif pembunuhan ini?"
"Uang, Bajra. Kekuasaan, apa lagi?" Panca menatap jauh ke arah kebun teh yang terhampar hijau. "Siapa yang tidak tergiur menguasai tanah seluas ini."
"Hanya itu? Bukan motif lain ... misal, gerakan politik?"
"Jika ini gerakan politik, kenapa dilakukan pada pengusaha swasta yang tidak memiliki kekuasaan politik? Bukan, menurutku ini murni perebutan kekuasaan." Anna mempertegas.
Bajra menatap Anna kemudian bertanya, "Nona, apakah kau tahu ... kenapa para tuan tanah itu rutin melakukan pertemuan?"
Anna menggelengkan kepala. "Hanya pertemuan biasa untuk mempererat persahabatan di antara pengusaha perkebunan. Selebihnya, hanya membicarakan masalah keluarga ... dan pamer."
"Lantas, kapan giliran pertemuan itu akan diadakan di sini?"
"Setahuku, bulan depan. Bulan ini dijadwalkan di Sukabumi, di perkebunan milik Nyonya Edward."
"Aku hanya berpikir, jika akan tiba gilirannya ... kita menjadi korban."
"Itu pula yang menjadi kekhawatiranku, maka dari itu harus ada hal yang kita lakukan sebelum itu terjadi."
Anna menghela nafas. Dia duduk di titian menuju beranda. Warna rambut gadis itu semakin terlihat menguning ketika cahaya mentari pagi menyinari. Tangannya mengelus punggung si Bruno yang tiduran manja.
"Tuan Hasyim hanyalah orang suruhan," Panca kembali membuka wacana.
"Kita harus mencari tahu, siapa yang menyuruhnya."
"Lalu?" Pratiwi mengarahkan arah pembicaraan Bajra.
"Meminta dia untuk menghentikan ini."
"Sulit untuk mengetahui itu. Ayahku pun tidak tahu."
"Karena para tuan tanah tinggal berjauhan. Sehingga tidak bisa menanyai mereka satu per satu."
"Dan, di pertemuan itulah mereka akan bertemu. Hanya saat itu kita bisa menanyai mereka satu per satu."
"Ya, karena kalau tidak ada yang menghentikan, diantara mereka akan ada saling curiga."
"Kemudian mengirim orang suruhan untuk saling membunuh."
Diantara mereka saling tatap. Tatapan serius.
KAMU SEDANG MEMBACA
Panca dan Pembunuh Bayaran
Mystery / Thriller"Paman, sedang apa Paman Aditama di sini?" Anna menyaksikan seseorang yang dikenalnya sedang melangkah ke arah gerbong selanjutnya. Di belakangnya, ada seorang laki-laki berjubah sedang memegang pisau. Tangan laki-laki itu penuh dengan darah. Begitu...