"Selamat datang di Sukabumi, Tuan dan ... Nona," seorang kusir menyambut.
Sebuah sambutan hangat dari seorang kusir berwajah Cina. Rambutnya yang panjang diuntun hingga pinggang. Keramahan khas warga kota kecil dengan hawanya yang sejuk.
"Kami diutus khusus oleh Nyonya Edward. Semoga Tuan dan Nona menikmati perjalanannya."
Satu orang kusir menunggu dekat kereta kuda yang diparkir tepat di depan pintu gerbang stasiun. Wajah keduanya mirip, sepertinya mereka masih bersaudara.
Beberapa saat kemudian kereta kuda sudah meninggalkan stasiun. Dua kereta kuda sengaja dikirim untuk menjemput rombongan Tuan Eickman dari stasiun kemudian menuju kediaman Nyonya Edward.
Sukabumi adalah kota yang baru didatangi oleh Anna, apalagi oleh Panca, Bajra dan Pratiwi yang jarang pergi jauh dari Desa Pujasari. Hanya Batavia menjadi satu-satunya kota yang pernah mereka singgahi. Itu pun untuk keperluan mencari pembeli gerabah produksi keluarga mereka.
"Masih jauhkan dari sini?" Anna bertanya pada si kusir.
"Masih, Nona."
Si kusir turun dari bangku di belakang dua ekor kuda untuk menjemput seorang juru masak yang sengaja berbelanja di toko kelontong seorang pedagang Cina. Barang dagangan disimpan di belakang kereta kuda dan sebagian lagi dipangku oleh wanita juru masak yang duduk di samping kusir.
"Belanjanya banyak juga," Anna melongok melalui lubang jendela, "apakah tamunya juga banyak?"
"Sudah banyak, Nona. Rombongan Tuan dan Nona yang terakhir tiba. Tamu yang lain sudah tiba sejak kemarin."
Setelah semua barang belanjaan terangkut, kedua kereta kuda itu berjalan meninggalkan kota. Si kuda berlari menyusuri jalan berbatu kerikil diantara perkampungan penduduk. Sesekali mereka menemui hamparan sawah yang mengapit sekumpulan rumah-rumah berbahan kayu dan bambu serta beratap rumbia.
Sebuah perjalanan yang menyenangkan bagi Anna, apalagi jika kereta kuda melintasi hamparan pesawahan yang masih hijau. Musim tanam baru saja dimulai. Dihiasi oleh orang-orangan sawah yang berdiri di tengah petakan.
"Ayah, apakah orang-orangan itu benar-benar bisa mengusir burung?"
Tuan Eickman tersenyum, "kau sudah tahu jawabannya jika melihat itu." Tangan kiri laki-laki itu menunjuk ke arah salah satu orang-orangan sawah.
"Ah, ternyata ada burung yang hinggap di sana!"
Mereka berdua tertawa. Dua pengawal yang menyertai mereka pun tidak bisa menahan diri, walau hanya tersenyum.
Seekor burung cekakak jawa berdiri di atas "kepala" si boneka berbahan jerami itu. Mungkin burung itu sudah lama mengamati jika boneka hanya bisa terdiam, tak bisa bergerak.
Areal pesawahan itu kini berakhir dan berganti dengan kebun sayuran yang terlihat segar. Ada tomat, kubis dan cabai. Diselangi oleh beberapa pohon cemara nan hijau menjulang seakan menggapai udara.
Kemudian, tidak jauh dari sana tibalah hamparan kebun teh. Keindahannya bertambah ketika penglihatan tertuju pada gunung yang hijau kebiruan. Dihiasi oleh awan tipis yang menyentuh puncak.
Kereta kuda berbelok ke sebuah jalan diantara perkebunan teh. Hanya jalan kecil tanpa penjagaan. Sebuah jalan satu-satunya menuju rumah megah di atas bukit.
"Itu rumah Nyonya Edward?"
"Ya, sekaligus kantor perkebunan."
"Seperti milik kita," Anna menyimpulkan.
"Ayah juga meniru tempat ini, sejujurnya. Mendiang Tuan Edward menjadi panutan bagi kami para pengusaha perkebunan yang lebih muda."
"Aku membayangkan, jika Nyonya Edward begitu sedih kehilangan suaminya."
"Tentu saja. Makanya, Ayah harus segera menemuinya. Untuk menghibur mereka yang ditinggalkan."
Obrolan mereka berdua terpotong oleh seorang mandor yang berteriak. Ternyata dia berteriak pada dua kusir yang mereka kenal. Kemudian mandor itu tersenyum pada Anna. Gadis itupun membalas senyuman pria berkumis tebal itu.
Kereta kuda terus berjalan hingga mereka sampai di depan pekarangan rumah Nyonya Edward. Rumah dengan gaya Indo-Belanda berwarna putih. Genteng merah yang terlihat dari bawah bukit kini semakin jelas terlihat lebih berlumut karena pengaruh cuaca yang dingin.
Setelah terparkir, semua penumpangnya turun. Tidak terkecuali Si Bruno yang antusias karena menemukan tempat bermain yang baru.
"Kami akan memberitahu Nyonya Edward," seorang jongos menyambut tamu yang baru saja tiba.
Barang bawaan diangkut oleh kedua kusir menuju bangunan yang terpisah dengan bangunan utama. Seorang jongos terheran-heran ketika menyaksikan Tuan Edward bersama empat anak remaja dengan wajah sedikit kebingungan.
"Saya putri Tuan Eickman, dan ini teman-teman saya," Anna paham kenapa jongos itu tampak kebingungan.
Setelah membawakan barang bawaan, jongos itu pun pergi. Sedangkan Anna menghampiri ketiga sahabatnya. Gadis itu tahu jika anak-anak itu masih kaku. Terlebih, menyaksikan banyak kereta kuda terparkir.
"Nona, ternyata di sini banyak pengawal," Panca menyaksikan sesuatu yang tidak biasa. "Apakah biasanya seperti ini?"
"Tidak, baru kali ini para peserta pertemuan mengajak banyak pengawal."
"Sepertinya, mereka sudah mempersiapkan diri jika terjadi kemungkinan terburuk," Bajra menyimpulkan.
"Semoga itu tidak terjadi," Pratiwi menghela nafas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Panca dan Pembunuh Bayaran
Mystery / Thriller"Paman, sedang apa Paman Aditama di sini?" Anna menyaksikan seseorang yang dikenalnya sedang melangkah ke arah gerbong selanjutnya. Di belakangnya, ada seorang laki-laki berjubah sedang memegang pisau. Tangan laki-laki itu penuh dengan darah. Begitu...