3

128 31 0
                                    

Beberapa hari telah berlalu ...

"Pratiwi, kau mau ke mana?" Panca bertanya kepada sepupunya.

"Mencari singkong yang sudah siap panen."

"Tumben. Sebentar lagi maghrib."

"Ayahku sebentar lagi pulang. Di rumah belum ada makanan. Jadi, aku mempersiapkan singkong rebus untuk menyambut Ayah."

"Kalau begitu, hati-hati."

Pratiwi merasa aneh dengan ucapan Panca, "jangan sampai kemalaman. Nanti kau dibawa kelong wewe ... hahaha?"

Pratiwi kemudian berlalu. Wajahnya begitu ceria. Gadis itu berjalan lenggak-lenggok ke arah jalan setapak yang menghubungkan Desa Pujasari dengan perkebunan warga. Panca menatap gadis itu hingga dia hilang diantara pohon nangka yang rimbun hampir menyentuh tanah.

"Ada apa, Raden?" Bajra bertanya sambil membereskan gerabah-gerabah yang mulai mengering.

"Raden, kau seperti mengkhawatirkannya?"

Panca menatap wajah Bajra.

"Aku lihat dari wajahmu, kau mengkhawatirkan dia."

"Sejujurnya, iya. Entah kenapa, akhir-akhir ini aku cenderung mengkhawatirkan gadis itu."

"Wajar, dia saudarimu. Hanya saja, apakah alasan kau mengkhawatirkannya?"

Panca tidak langsung menjawab pertanyaan sahabatnya itu. Dia lebih suka menyeka keringat di tubuhnya kemudian bangkit berdiri.

"Sebentar lagi maghrib, aku mau mandi."

"Hei, kau belum menjawab pertanyaanku, Raden?"

"Ah, itu hanya perasaanku saja. Tak usah kau hiraukan."

Angin berhembus lembut. Udara bergerak mengalir mengenai tubuh Panca. Udara dikirim dari arah lereng. Berhembus hingga menggoyangkan pucuk-pucuk pepohonan yang tumbuh subur di sekitar perkampungan warga.

Panca membuka kain yang menutupi kepala. Rambutnya basah oleh keringat. Karena angin, perlahan mengering.

Di ufuk barat, tampak semburat cahaya matahari sore diantara awan tipis. Langit kala itu seperti kanvas yang dilukis oleh tinta emas. Menguning.

"Nyimas Pratiwi belum pulang?" Bajra mengarahkan pandangan ke arah kebun singkong.

"Ah, sebentar lagi juga dia pulang. Kita mandi saja. Tidak usah memikirkan anak itu."

"Benarkah? Benarkah kita tidak usah memikirkan Nyimas Pratiwi?"

Panca menoleh ke arah Bajra. Bajra tidak menyadari jika dia sedang diperhatikan.

"Bajra, kenapa kau begitu yakin jika aku ...."

"Mengkhawatirkannya?"

Panca menganggukan kepala.

"Karena, saya juga mengkhawatirkan sesuatu. Entahlah. Perasaan saya tidak ... nyaman."

Panca paham jika Bajra sudah menggunakan perasaannya, maka itu bukan sesuatu yang bisa dianggap remeh. Bajra bukan cenayang yang bisa meramal masa depan. Hanya saja, Bajra seakan memiliki bagian otak yang bisa menangkap hal-hal tidak terpikirkan oleh banyak orang. Intuisi Bajra begitu tajam.

"Kita cari Pratiwi."

Panca berjalan tergesa melintasi pekarangan. Hamparan tanah dengan sedikit rerumputan tumbuh. Musim hujan belum tiba sehingga rumput tidak tumbuh dengan subur. Merahnya warna tanah lebih menonjol dibandingkan hijaunya rerumputan.

Ketika mendapati jalan setapak, Panca berjalan ke arah sana. Jalan setapak itu menurun menuju kebun singkong di bukit.

"Raden, tunggu!" Bajra tidak sanggup berjalan secepat temannya. Tubuh tambun anak remaja itu menyulitkan anggota badan untuk bergerak.

"Ayo, cepat! Sebentar lagi gelap!"

Ada batu menghampar di punggung bukit. Kebun singkong garapan keluarga Pratiwi tidak jauh dari hamparan batu itu.

"Mana anak itu? Katanya dia mau menggali singkong. Tapi, tidak terlihat," Panca merasa heran ketika mendapati Pratiwi tidak ada di kebun garapan.

"Saya rasa ... dia sudah kembali ke rumahnya." Bajra tiba dengan terengah-engah.

"Tapi, kita tidak melihatnya. Semestinya dia berpapasan dengan kita. Ini kan, dia tidak ...."

Panca tidak meneruskan kalimatnya.

"Ada apa, Raden?"

Panca menatap tajam ke depan.

Bajra melihat wajah sahabatnya. Dia pun mengerti jika ada sesuatu yang dilihatnya.

"Siapa dia?" Bajra bertanya dengan perlahan.

"Entahlah."

Dari kejauhan, tampak seseorang yang datang dengan berjalan kaki. Orang itu sepertinya sudah menyadari jika Panca dan Bajra mengetahui kedatangannya. Dia melambaikan tangan ke arah kedua remaja itu.

Setelah ditunggu beberapa saat, orang itu semakin mendekat. Dari caranya berjalan, tampak sekali jika dia memiliki fisik yang kuat. Tubuhnya tinggi. Hampir setinggi pohon-pohon singkong di antara jalan setapak.

"Assalamu'alaikum," orang itu mengucapkan salam.

"Wa'alaikumsalam," Panca dan Bajra membalas ucapan salam orang yang baru saja datang.

Orang itu memakai jubah hingga betis. Tampak sekali jika dia sudah melakukan perjalan jauh karena telapak kakinya penuh dengan debu. Warna kulit kaki bercampur dengan debu yang cenderung berwarna merah bata.

Panca dan Bajra saling lirik.

"Kenapa? Kalian tampak heran dengan kedatangan saya?"

"Saya hanya ... tidak menyangka jika anda tiba dengan berjalan kaki. Dan, hampir malam."

"Ya, saya juga ingin segera tiba di Desa Pujasari."

Panca tersenyum pada laki-laki dengan penutup kepala warna hijau itu. Wajah yang asing bagi Panca. Sekaligus wajah yang membutuhkan sambutan. Dia tampak kelelahan dengan kain buntalan di belakang punggung.

"Kalian, penduduk di sini?"

"Ya, Paman. Kami tinggal di atas bukit sana."

"Kau, putra Ki Lurah Bakti?"

"Ya, Tuan. Bagaimana Tuan mengenal saya?"

"Wajahmu mirip dengan ayahmu. Apakah Ki Lurah ada di rumah?"

"Ya, beliau ada di rumah. Biar saya antar Tuan ke sana."

Panca dan Bajra berjalan melawan arah kedatangan. Kini mereka bertiga menuju ke perkampungan.

"Raden, bukankah tadi kita akan mencari Nyimas Pratiwi?" Bajra mengingatkan.

"Siapa Nyimas Pratiwi?" laki-laki tamu itu bertanya penasaran.

"Oh, itu sepupu saya."

"Putri ... Raden Aditama?"

"Ya. Tuan mengenal paman saya?"

"Ya, tentu saja. Saya sangat mengenalnya."

Panca dan Pembunuh BayaranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang