21

66 24 0
                                    

Sekitar dua pekan kemudian ...

"Ayah, aku tidak mau ikut lagi ke pertemuan itu," Anna memasang wajah cemberut sambil duduk di kursi.

"Sayang, aku tahu. Bagimu, itu kegiatan yang membosankan."

"Bagus, kalau Ayah tahu alasannya."

"Tapi, Ayah tidak bisa meninggalkanmu di sini sendiri."

"Banyak pengawal, pegawai atau aku bisa mengajak Pratiwi menginap di sini untuk menemaniku."

Tuan Eickman berhenti mengelap senapan. Dia menoleh ke arah anak gadisnya.

Bagi laki-laki itu, membiarkan anak gadisnya jauh dari pengamatan menjadi sesuatu yang sangat mengkhawatirkan. Mereka selalu bersama pun, bahaya senantiasa menghampiri bapa dan anak itu. Apalagi jika mereka berjauhan.

"Anna, aku tahu kau sedang bernegosiasi denganku."

"Ayah, aku belajar dari Ayah," gadis itu tersenyum manja.

"Ya, kali ini aku mengaku kalah."

Anna tersenyum. Kemudian dia memeluk ayahnya seraya mengatakan, "aku mencintai Ayah."

"Tapi mereka tidak bisa masuk ke gerbong kelas I."

"Ya, aku tahu."

Kemudian gadis itu melangkah pergi menuju pintu utama. Dia berjalan dengan langkah penuh keceriaan. Rona wajahnya berubah dan menunjukan keceriaan itu pada tiga orang kawannya. Mereka bertiga sudah menunggu di beranda depan sambil mengelus-elus Si Bruno yang sudah akrab dengan anak-anak remaja itu.

Anjing itu pun sepertinya senang ketika mendengar Anna bermaksud mengajaknya pergi. Ekor Bruno bergoyang-goyang seakan menyatakan, terima kasih Anna. Kau majikanku yang penuh pengertian.

"Bajra, kenapa sepertinya kau kurang senang?" Anna memperhatikan raut wajah berbeda pada Bajra.

"Bukan begitu, Nona. Saya hanya berpikir, saya tidak punya kepentingan apa-apa. Jadi, saya tidak usah ikut."

"Tidak punya kepentingan? Lalu, siapa yang harus bertanggungjawab ketika kau membiarkan seorang pembunuh berkeliaran di kampung?"

"Ya ya ya, kami mengaku salah," Panca mencoba menengahi.

"Kalian juga tidak bertindak apa-apa ketika tahu ada orang yang mencurigakan datang tiba-tiba ...."

"Kala itu kami tidak punya bukti."

"Apakah harus ada korban terlebih dahulu baru kau bisa membuktikan bahwa dia bermaksud jahat?"

Panca dan Bajra terdiam. Sedangkan Pratiwi mengangkat alis merasa ada yang mendukung pendapatnya selama ini.

"Sungguh cara berpikir kalian seperti polisi. Harus ada kejadian bahkan ada korban terlebih dahulu baru bisa menyeret seorang maling ke penjara."

"Jika kau berpikir begitu, semua orang pun memiliki bakat menjadi penjahat."

"Memang! Untuk itu kita harus berusaha agar niat jahat itu tidak terwujud. Jauh sebelum ada korban nyawa."

Anna menyilangkan tangannya di depan dada. Wajah gadis itu memerah.

Suasana pagi menjadi hening. Para pegawai perkebunan sudah pergi bekerja sejak tadi sehingga hanya ada para centeng yang berjaga di depan rumah bergaya Indo-Eropa itu. Hewan ternak pun sudah tenang karena baru saja diberi pakan. Hal yang terdengar justru percakapan mereka yang mengundang perhatian petugas jaga di atas menara.

"Nona, tampaknya ada petugas pos!" Petugas menara itu kembali memecahkan keheningan ketika menyaksikan ada orang yang berkuda mengarah ke jembatan.

Semua mata tertuju pada jembatan kecil yang menjadi pintu gerbang bagi areal perkebunan Tuan Eickman. Jembatan itu membelah sebuah sungai kecil sebagai batas antara lahan Tuan Eickman dengan lahan Lurah Bakti.

Keempat sekawan itu menantikan kedatangan si petugas pos. Hari masih pagi tetapi seorang petugas pos sudah datang mengantarkan surat.

"Selamat pagi, Nona Anna."

"Selamat pagi, adakah surat kabar yang dikirim hari ini?"

"Ya, Nona. Ada surat kabar dan beberapa surat untuk Tuan Eickman."

Laki-laki berseragam itu mengeluarkan beberapa lembar amplop surat serta satu eksemplar surat kabar. Dia menyerahkan pada Anna sambil memastikan suratnya benar sesuai alamat yang tertera.

"Terima kasih, Tuan."

Setelah berpamitan, petugas pos itu kembali melanjutkan perjalanannya. Bajra kurang tertarik memperhatikan si Tukang Pos yang kembali melecut kudanya. Anak remaja itu lebih tertarik pada surat kabar di tangan Anna.

"Nona, coba perhatikan judul berita utama di koran," Bajra menunjuk sebuah tulisan dengan cetakan besar.

"Ya Tuhan. Ayah! Ayah! Coba lihat ini!"

Wajah Anna berubah menjadi lebih tegang. Mata gadis itu tertuju pada setiap huruf yang tercetak di surat kabar.

"Ada apa? Bisakah kau tidak berteriak ...," Tuan Eickman berjalan mendekat dari arah pintu utama.

"Tapi, ini berita penting, Ayah!"

"Sepenting apa sampai ...?"

"Tuan Hofland ...."

"Kenapa dengan Tuan Hofland?"

Anna menoleh pada ketiga kawannya, kemudian menyerahkan surat kabar itu pada ayahnya.

"Dia meninggal ... dibunuh, Ayah."

 

Panca dan Pembunuh BayaranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang