37

52 22 0
                                    

"Dia dalang dari semua ini," Anna bicara dengan nada datar sambil mengarahkan moncong senapan ke kepala Nyonya Edward.

"Apa maksudmu, Sayangku?"

"Nyonya, sedari tadi anda tidak terlihat panik.  Malah anda terlihat paling tenang diantara kami."

"Itu bukan bukti ...."

"Ya, awalnya aku juga hanya mengira-ngira. Tapi, anda baru saja memberi kode dengan mendekatkan dua jari ke bibir."

"Aku hanya gugup ...."

"Tapi, apa maksudmu meletakan jari di leher?"

Anna tidak ingin jawaban itu segera terjawab. Gadis itu menoleh ke arah Pria Bertopeng dan Tuan David.

"Aaarrggh!" Pratiwi berteriak keras.

Lampu tempel di tangannya dilemparkan ke depan. Tapi, sasaran mengelak. Dalam waktu singkat itu, Pratiwi meraih tangan Tuan David dan menariknya ke arah dinding. Mendekati Anna yang siap menembak.

"Arghhh!" Sayatan pisau di leher membuat Tuan David berteriak.

Pratiwi menghampiri sambil memeriksa luka Tuan David. Darah mengalir dari lehernya yang berkulit terang.

"Aku tidak apa-apa. Hanya luka kecil," pria itu bicara sambil meringis kesakitan.

Siapa pun yang ada di sana, wajar merasa bingung ketika mendengar kalimat demi kalimat yang terlontar dari mulut Anna. Berawal dari sangkaan jika Tuan David bekerjasama dengan Tuan Hasyim, si pembunuh bayaran, kemudian sangkaan jika Nyonya Edward adalah dalang dari peristiwa berdarah yang  belum lama terjadi.

Kebingungan itu pun terlihat dari Si Pria Bertopeng yang masih berdiri seakan dia pun ingin menonton perdebatan antara Anna dan Nyonya Edward. Dia seakan mempertimbangkan banyak hal sebelum melakukan aksi selanjutnya.

"Saya tahu, Tuan Hasyim bukan seorang pembunuh yang serampangan menebas leher orang. Dia selalu menimbang-nimbang, apakah membunuh orang mendapatkan bayaran yang setimpal dengan resiko yang dia hadapi," Anna menatap Pria Bertopeng itu kemudian beralih menatap Nyonya Edward.

"Kau mengigau gadis ...."

"Lalu, kenapa kau tidak membunuh ayahku waktu itu? Kau malah meminta bayaran begitu besar? Karena, aku tahu kau tidak berpihak pada siapapun di tempat ini. Kau hanya berpihak pada uang."

"Hahahaha!"

"Nyonya Edward, saya minta ... sudahi semua ini. Jangan sampai ada lagi korban nyawa ...."

"Apa maksudmu? Kau masih menganggap aku dalang dari semua ini?"

"Kalau bukan anda, siapa lagi? Anda membayar pria itu untuk membunuh semua orang yang ada dalam kereta api itu, kan?"

Nyonya Edward geram.

"Ya, akulah yang memberi perintah orang ini untuk membunuh mereka. Itu karena kalian yang memulai peperangan. Kalian yang membunuh suamiku!"

Anna terheran-heran. Dia memandang tajam Nyonya Edward.

"Bukan begitu, dia yang membunuh suami anda, kemudian dia datang mengancam anda untuk menyerahkan harta yang tersisa. Namun, anda malah mengajaknya bekerjasama untuk membunuh para tuan tanah saingan anda. Nyonya, anda memilih menyerah pada orang ini daripada mempertahankan harga diri keluarga anda sendiri!"

Nyonya Edward tidak sanggup menyanggah.

"Orang ini selalu meminta bayaran lebih pada calon korbannya. Dia bisa mengurungkan niatnya jika korbannya mampu membayar berkali lipat dari bayaran sebelumnya. Dia tidak menuntaskan tugasnya. Orang ini mudah tergoda oleh uang!"

"Hei, gadis tak tahu sopan pantun. Bukan itu kenyataannya!"

"Lantas apa?"

Nyonya Edward menangis, "dia bukan pembunuh suamiku! Dia yang melindungi suamiku dari pembunuh bayaran ...."

"Maksudmu, dugaanku salah?"

"Tuan Hasyim adalah orang kepercayaan suamiku. Dia melindungi suamiku saat terjadi pembunuhan di kereta api!"

"Anda merekayasa cerita?"

"Kau yang salah duga, Anna. Seharusnya kau pastikan dahulu ... apa sebenarnya yang terjadi di kereta api itu."

Anna memandang ayahnya. Tuan Eickman menggelengkan kepala.

"Ayahmu mengirim pembunuh bayaran untuk membunuh suamiku. Kemudian datang Tuan Hasyim bermaksud menyelematkan, tapi terlambat."

"Nyonya, pria itu yang membawa pisau di tangannya. Aku melihat sendiri bagaimana dia bermaksud melukai Paman Aditama."

"Ya, namanya Aditama. Dia pembunuh yang diutus ayahmu untuk membunuh suamiku."

Pratiwi kaget mendengar nama ayahnya disebut.

"Itu bohong," Tuan Eickman menanggapi.

"Kau yang dibohongi ayahmu sendiri, Anna. Dia berkomplot untuk melenyapkan suamiku. Makanya, aku ingin membalas dendam pada kalian."

Anna bertambah bingung. Dia mencoba mengingat-ingat kejadian pembunuhan di dalam kereta tempo hari. Kala itu, Anna melihat sendiri bagaimana Tuan Hasyim memegang pisau berlumuran darah. Sedangkan, Raden Aditama, ayahnya Pratiwi, sebagai orang yang dikejar.

"Nyonya, silakan kau merangkai cerita. Aku tetap berharap kau berhenti meneruskan ini semua."

"Anna, coba kau ingat-ingat kejadian di gerbong kereta api itu ... siapa yang berlari mengejar dan siapa yang lari dikejar?"

"Lalu, pisau itu milik siapa?"

Jawaban itu bukan keluar dari mulut Nyonya Edward. Justru keluar dari mulut Pratiwi, "bukan harus menanyakan siapa pemiliknya. Tapi, pisau yang dipegang Tuan Hasyim itu melukai siapa?"

Anna menoleh ke arah Pratiwi.

"Ayahku terluka di bagian perut. Tuan Hasyim menusuknya ketika berusaha menyelamatkan Tuan Edward."

Anna bertanya dengan lirih, "Pratiwi, berarti kau berpikir jika ayahmu pembunuh Tuan Edward?"

Panca dan Pembunuh BayaranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang