"Raden, ini tempat persembunyian," Bajra memperkirakan kegunaan lubang galian itu.
"Ya, tapi siapa yang bersembunyi di sini?"
"Dan, untuk apa bersembunyi di sini?"
Cahaya obor yang dipegang Panca memperjelas bagaimana keadaan dalam lubang itu. Lubang itu hanya cukup bagi orang untuk merangkak. Begitupun dengan kedua anak remaja di dalamnya. Mereka memberanikan diri merangkak masuk ke dalam lubang sembari melindungi si Bruno yang berada di tengah.
"Di sini pengap." Bajra mulai merasakan udara yang berkurang ketika terus maju ke dalam.
"Tapi, di sini cukup segar."
Panca mengarahkan obor ke atas. Ternyata ada lubang udara yang sengaja dibuat agar di dalam lubang itu tidak terasa pengap.
"Sebentar, lubang kecil ini di sebelah mana?"
"Lihatlah, lubang ini ...."
"Sekitar pohon cemara."
"Tapi, pohon cemara yang mana?"
Pertanyaan itu belum bisa terjawab. Harus ada cara untuk memeriksanya. Dan, mereka tidak punya waktu untuk hal demikian.
Mereka bertiga lebih suka terus merangkak. Didorong rasa ingin tahu, ketiganya mengesampingkan resiko yang mungkin ada. Apalagi mereka datang jauh ke Sukabumi sudah mengambil resiko yang bisa timbul tanpa diduga.
"Bajra, lihatlah!" Panca mengarahkan obor ke depan.
"Tikar ... untuk tidur?"
Setelah cukup lama merangkak, akhirnya mereka mendapati ruang yang lebih luas dibandingkan sebelumnya. Sebuah ruangan di bawah tanah. Cukup untuk berbaring dua orang.
"Alhamdulillah, akhirnya kita bisa duduk." Bajra bersender di dinding tanah. Diikuti oleh si Bruno yang terlihat kelelahan.
"Lubang udara di sini lebih banyak. Tengoklah, dipasang bambu sebagai jalan udara."
"Bambu?"
"Kenapa? Kau pernah melihatnya?"
Bajra menggelengkan kepala.
"Perhatikan ke belakang. Jalannya sedikit menurun."
"Agar air cepat keluar dari lubang ini."
"Pantas saja masuk ke sini sangat susah."
Panca menancapkan obor di lantai tanah yang sedikit basah. Dia meraba tanah di dinding kemudian membandingkannya dengan lantai.
"Tanahnya kering. Tanah basah ini hanya sebagian."
"Tumpahan air minum."
"Ya, jika kering berarti lubang ini dibuat setelah musim hujan."
"Baru dibuat?"
"Sepertinya begitu."
Panca dan Bajra menghela nafas panjang. Mereka berdua memikirkan sesuatu. Hal yang di luar perkiraan mereka ketika mendapati kenyataan jika ada sebuah lubang yang sengaja dibuat. Lubang itu dibuat untuk apa?
"Apakah ini lubang untuk melarikan diri?"
Bajra memperkirakan kegunaan lubang itu. Panca menggelengkan kepala.
"Kita bisa tahu alasannya, apabila sudah sampai di ujung lubang ini."
Bajra mengarahkan pandangan ke segala sudut, "aku tidak habis pikir. Bagaimana ini dibuat? Di luar, tidak bekas galian tanah atau semacamnya?"
"Entahlah, hal yang pasti ... si pembuatnya cerdas. Dia sudah merencanakan ini dari jauh hari."
Bajra setuju dengan perkiraan Panca. Dia menganggukan kepala sambil membayangkan bagaimana lubang ini dibuat.
"Mungkinkah ini dibuat oleh satu orang saja?"
"Bagiku, itu mungkin. Karena, aku pernah melihat sendiri seorang laki-laki membuat lubang persembunyian."
"Seperti aku tahu siapa yang kau maksud, Raden."
Panca mengangkat tubuhnya. Mencabut obor yang tertancap di tanah.
"Raden, tunggu."
"Ada apa?"
"Dekatkan obor ke sudut sebelah sini."
Cahaya obor mengarah ke sudut ruangan bawah tanah. Panca dan Bajra mendapati sesuatu yang menarik perhatian mereka. Benda yang mereka kenal sebelumnya. Begitu juga si Bruno yang mengenal benda itu.
"Kenapa kau takut, Bruno?"
"Apakah benda ini yang membuatmu ketakutan?"
"Makhluk ini pula yang menggorok leher musang tadi?"
Si Bruno mundur hingga ke dinding. Hewan itu ketakutan. Itu sudah cukup menjadi sebuah jawaban atas pertanyaan dua manusia di hadapannya.
"Benda ini dibuat di sini."
"Mungkin untuk mengisi waktu luang dia membuatnya di sini. Lihatlah, bekasnya terlihat masih baru."
"Aku yakin, tangan orang ini tidak bisa diam."
"Dan, cekatan."
Panca dan Bajra tersenyum kecut. Mereka berdua memegangi benda itu dengan penuh rasa takjub sekaligus menambah perasaan takut. Begitupula yang diperlihatkan si Bruno ketika benda itu didekatkan ke wajahnya.
"Husss, kau jangan membuat dia ketakutan."
Panca mencondongkan tubuhnya sembari menyimpan benda penemuannya di tempat semula.
Ruangan bawah tanah kembali gelap. Obor sudah tidak lagi menerangi karena Panca, Bajra dan si Bruno kembali merangkak. Meneruskan maksud mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Panca dan Pembunuh Bayaran
Misteri / Thriller"Paman, sedang apa Paman Aditama di sini?" Anna menyaksikan seseorang yang dikenalnya sedang melangkah ke arah gerbong selanjutnya. Di belakangnya, ada seorang laki-laki berjubah sedang memegang pisau. Tangan laki-laki itu penuh dengan darah. Begitu...