52

52 23 0
                                    

Panca dan Bajra mengamati keadaan. Mereka tidak bicara satu sama lain tetapi saling mengerti harus melakukan apa.

Dor!

Terdengar satu tembakan.

Dor! Dor!

Terdengar dua tembakan beruntun.

Panca dan Bajra tersentak dengan suara tembakan itu. Arah peluru menuju ke dalam rumah. Desingan tidak terdengar hingga ke luar. Si penembak pun menghadap ke bagian dalam rumah. Mereka berdiri di sisi luar jendela yang terbuka.

Kedua remaja itu menundukkan kepala. Mereka tidak ingin ada peluru menyasar kemudian mengenai kepala. Namun, tembakan itu tidak terdengar lagi setelah beberapa saat mereka merunduk.

"Ada apa, Raden?"

"Entahlah, mungkin Tuan Eickman menembak anggota komplotan."

"Berarti mereka sudah menyusup masuk ke dalam rumah Nona Anna."

"Sepertinya begitu. Tuan Eickman pasti marah besar."

Panca dan Bajra bercakap-cakap dengan suara rendah. Hampir berbisik. Untungnya, tidak ada yang mendengar suara mereka karena angin menderu siang itu. Ditambah, suara kambing dan domba yang mengembik menyamarkan suara kedua anak itu.

"Apakah kita akan bergabung dengan mereka, Raden?"

"Tidak usah. Jangan sampai kehadiran kita merepotkan mereka."

Beberapa saat Panca dan Bajra menunggu. Berharap tidak ada lagi sesuatu terjadi yang bisa membahayakan Anna dan penghuni kediaman Tuan Eickman.

"Raden, lihat ke atap rumah," Bajra menepuk pundak Panca.

"Burung gagak ...."

Kehadiran burung gagak memberi kesan jika kematian akan menghadang. Mitos tentang kehadiran burung gagak di atap rumah membuat Bajra merinding.

"Siapa yang meninggal?"

"Huss, tidak usah berpikir aneh-aneh."

Burung itu berteriak dengan suaranya yang serak. Bulunya hitam mengkilap. Dia bertengger tetap di atas wuwungan yang terletak di tengah-tengah bangunan. Memperingatkan siapa pun yang memperhatikan.

Gaookk!

Panca dan Bajra saling tatap. Sebuah tatapan penuh makna. Hanya mereka berdua yang mengerti.

Burung gagak itu enggan pergi. Padahal, seorang wanita pemetik teh sudah mengusir mereka dengan sebatang bambu yang panjang. Si burung hanya berlari-lari kecil di atas wuwungan yang tidak lagi berwarna merah. Hijau lumut telah mengurangi merah bata yang sering tampak pada jalinan genteng di atap.

"Hei, pergi!"

"Dasar burung sialan!"

Seorang pegawai perkebunan yang masih menggunakan caping berbahan pandan berteriak-teriak. Dia sepertinya benci akan kehadiran burung yang tak punya salah apa pun padanya. Si burung tidak takut pada manusia yang mengusir. Sebaliknya, manusia merasa takut akan kehadiran si burung.

Panca dan Bajra tersenyum ketika menyaksikan kelakuan orang itu mengusir seekor burung. Kenapa harus disusahkan oleh seekor burung?

Kedua anak remaja itu lebih suka kembali memperhatikan keadaan di dalam rumah Anna. Orang-orang yang tadinya berkumpul di luar, kini sudah masuk ke dalam rumah. Lagi, keributan terdengar hingga ke luar. Meskipun tidak jelas apa lagi yang tengah terjadi di sana.

"Raden, mari kita cari tahu apa yang terjadi di sana," Bajra sulit meredam rasa ingin tahunya.

"Ya, sebaiknya kita tahu apa yang terjadi di dalam sana."

Panca dan Bajra beranjak. Mereka berdua berlari-lari kecil ke arah jendela. Kemudian melongok ke dalam. Tampak sesuatu yang mengerikan tengah terjadi.

Ada tiga mayat tergeletak di lantai. Darah membasahi lantai.

Ketiga mayat itu dibiarkan begitu saja. Keributan justru terdengar dari arah dapur. Ingin sekali Panca dan Bajra masuk. Tapi, seorang centeng melarangnya untuk masuk.

"Raden, sebaiknya kalian tidak usah masuk ke dalam rumah. Keadaan sedang genting," centeng berjenggot lebat itu memberi peringatan.

"Genting seperti apa?"

"Ah, ternyata seorang komplotan sudah berhasil masuk ke dalam rumah."

Panca dan Bajra saling pandang.

"Dan, menyandera Nona Anna. Untungnya, dia berhasil dilumpuhkan." Centeng menunjuk sosok mayat yang terbaring di lantai.

"Kami khawatir terjadi sesuatu pada Nona Anna, makanya kami datang ke sini."

"Sebaiknya, kalian pulang. Nyawa kalian bisa terancam."

Centeng itu sekali lagi memberi peringatan. Tangan kanannya masih menenteng senapan laras panjang menandakan jika kali ini dia sudah bisa menembak.

"Paman, lalu ... Nona Anna baik-baik saja, kan?"

"Ada luka di kakinya. Tapi, sekarang sedang diobati."

Panca dan Bajra mengangguk.

"Ya sudah, kalian kan sudah tahu bagaimana keadaan Nona Anna. Sebaiknya kalian pulang."

Panca pun setuju dengan usulan centeng itu. Panca mengajak Bajra untuk pulang. Tapi, tampaknya wajah sahabatnya mengisyaratkan keengganan. Anak bertubuh gempal itu malah tertarik untuk mengitari sisi selatan rumah bercat putih itu.

"Hei, kau mau ke mana?"

"Hanya memastikan keadaan, Raden."

"Dasar bocah susah diatur."

Panca terpaksa mengikuti Bajra. Setelah sebelumnya dia tersenyum pada centeng yang sedang berjaga. Laki-laki itu hanya menggelengkan kepala melihat kelakuan kedua anak itu. Dasar bocah.

"Raden, dengar. Ada keributan di dapur."

"Keributan apa ya?"

Panca mengikuti Bajra yang berlari ke  bagian belakang rumah bergaya Indo Eropa itu. Namun, langkah Bajra terhenti. Begitu juga Panca.

"Ada apa?"

Bajra tidak menjawab.

"Sialan, bahkan Bi Imah pun bagian dari komplotan."



Panca dan Pembunuh BayaranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang