7

89 28 0
                                        

"Kau yakin tidak salah melihat, Anna?"

"Tidak, Ayah. Aku yakin ... orang itu yang membunuh Tuan Edward," Anna bersikukuh.

Gadis itu berjalan mendekat ke arah ayahnya. Dengan sepatu but, rok hingga betis, anak remaja itu melangkah dengan tegap. Dia tidak sadar jika sepatu sudah mengotori lantai yang baru saja dipel. Seorang wanita pembantu rumah tangga melirik ke arah gadis itu dari ruang makan.

"Maaf, Bi. Saya lupa," dia tersenyum pada wanita setengah baya dengan kebaya motif batik menutup tubuhnya.

"Tidak apa-apa," wanita itu hanya tersenyum tanpa berani protes.

Anna berjinjit mendekati Tuan Eickman kemudian duduk di kursi berbahan kayu. Mereka berdua berbincang di ruang tengah tanpa ada orang lain yang ikut serta.

"Mungkin orang itu mirip," Tuan Eickman mencoba memberi pertimbangan.

"Sangat mirip, berarti benar orang itu."

"Ciri-cirinya?"

"Orang Arab. Tubuhnya tinggi, hidungnya mancung, matanya bulat, wajahnya lonjong, lehernya tinggi, dagunya runcing ...."

"Sayang, hampir semua orang Arab memiliki ciri seperti itu," Tuan Eickman tersenyum sambil terus mengelap pucuk senapan.

"Iya juga, tapi aku hafal betul orang itu."

"Waktu itu kau melihat di dalam terowongan yang gelap, bagaimana bisa kau melihat dengan jelas orang itu?"

"Memang agak gelap. Tapi wajah orang itu cukup jelas."

Anna menatap ke depan. Matanya memang melihat ke arah dinding. Dinding tanpa banyak hiasan selain senapan yang tergantung. Namun, pikiran Anna bukan di rumah. Dia sedang membayangkan kejadian tempo hari di kereta api.

Waktu itu cahaya dalam gerbong kereta tidak terlalu terang. Sehingga tidak bisa memastikan ciri khusus fisik orang itu.

"Sayang, kau melamun?"

"Ah, tidak. Hanya mengingat-ingat kembali kejadian itu."

"Sudahlah, tidak usah terlalu memikirkan hal itu. Lagipula, polisi sudah mengurus semuanya."

"Pembunuhnya ditemukan?"

"Menurut berita yang Ayah terima, belum. Pembunuh Tuan Edward belum ditemukan."

Anna menghela nafas.

Tuan Eickman kembali menoleh pada anak gadisnya. Dia melihat sesuatu yang tidak biasa dari anak gadisnya.

"Sudahlah, kau tidak perlu lagi memikirkan peristiwa itu. Ya, Ayah sedih dengan kejadian itu. Tuan Edward menjadi sosok panutan buat kami yang lebih muda. Namun, kita tidak bisa terus berlarut dalam kesedihan."

Percakapan antara Anna dan Tuan Eickman harus berakhir ketika ada seorang pegawai perkebunan yang datang. Dia berdiri di depan pintu depan dengan wajah tegang.

"Maaf, Tuan. Ada seseorang yang bermaksud mengacau," seorang laki-laki berpakaian serba hitam dan memakai tutup kepala motif batik menyampaikan maksudnya.

"Hei, urus saja oleh kalian. Aku menggaji kalian untuk menyelesaikan masalah seperti!"

Tuan Eickman kurang suka jika pegawainya tidak bisa menyelesaikan masalah-masalah sepele. Dia ingin menikmati waktunya tanpa banyak diganggu oleh hal-hal yang tidak terlalu penting. Menurutnya, seorang tuan tanah itu sudah selayaknya tidak terlalu banyak ikut campur perkara yang bisa diselesaikan oleh pegawai rendahan.

"Tapi, Tuan. Orang itu ...."

Anna sudah berdiri di dekat jendela ketika tahu ada keributan, "orang yang sedang kita bicarakan. Lihatlah, Ayah. Orang itu bersikeras walau sudah dihadang oleh para centeng."

Tuan Eickman pun bangkit berdiri. Melalui jendela, dia bisa menyaksikan bagaimana keributan terjadi.

"Apa mau orang itu?"

"Dia bersikeras untuk masuk ke wilayah perkebunan. Padahal, kami sudah melarangnya."

"Lalu, kenapa tidak kau usir?"

"Dia bersama Raden Panca, jadi kami tidak berani ...."

Tuan Eickman menghela nafas. Dia berpikir sejenak. Menoleh pada Anna kemudian menoleh ke arah si centeng di pintu.

Laki-laki pemilik perkebunan itu pun berjalan ke luar. Dia menyusuri pekarangan rumahnya yang luas. Seekor anjing mengikuti langkah kakinya. Mungkin anjing itu mengira jika dia sedang diajak bermain-main.

Tuan Eickman sering membawa anjing labrador miliknya untuk berburu tikus. Anjing itu melihat majikannya membawa senapan sehingga mengira ia pun diajak berburu tikus, si hama tanaman.

Tibalah sang tuan tanah di jalan setapak dekat sungai. Dia berdiri tegap, menatap tamu tak diundang yang mendatangi perkebunannya.

"Ada apa ini? Sepagi ini sudah membuat keributan?"

"Maaf, Tuan. Ini hanya salah paham," Panca memberanikan diri bicara.

"Salah paham seperti apa, Raden?"

"Saya dan Tuan Hasyim ... hanya berjalan-jalan di perkebunan ...."

"Lantas, kenapa terjadi keributan?"

"Eee ... Paman-paman centeng ini mengira jika Tuan Hasyim ...."

Panca belum menyelesaikan kalimatnya. Ternyata seorang centeng memberanikan diri untuk menyela, "dia mencurigakan, Tuan."

"Diam! Kau tidak usah bicara sebelum kusuruh," Tuan Eickman membelalakan mata ke arah centeng itu.

Semua kembali terdiam.

"Tuan Hasyim hanya ingin melihat-lihat dan menikmati suasana di perkebunan ini," Panca kembali bicara.

Tuan Eickman memperhatikan laki-laki yang bernama Hasyim itu. Dia menganggukan kepala. Jika saja Anna benar, sungguh mengherankan jika dia memberanikan diri datang ke tempat ini.

Tuan Eickman menoleh pada Anna yang berdiri beberapa langkah di belakangnya. Gadis itu enggan mendekat. Terlihat sekali wajahnya begitu tegang. Sepertinya, Anna begitu yakin dengan penglihatannya. Begitulah pikir Tuan Eickman.

"Tuan Hasyim, jujurlah pada kami. Sebenarnya, apa tujuan anda datang ke tempat ini?"

Panca dan Pembunuh BayaranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang