Orang yang baru saja tiba juga sama-sama mengenakan topeng. Hanya gambarnya yang berbeda. Dan, Anna semakin sulit mengerti apa yang sebenarnya tengah terjadi. Kenapa mereka datang di saat yang hampir bersamaan?
Si Topeng Merah berdiri seakan menyambut kedatangan orang yang sama-sama berbaju dan celana pangsi hitam itu. Setelah masuk ke dalam rumah, ternyata warna topeng mereka berbeda. Kita sebut saja orang yang baru datang dengan Si Topeng Putih.
Anna belum sempat bertanya siapa sebenarnya Si Topeng Putih. Orang itu langsung berlari ke arah Si Topeng Merah dan menerjang tanpa bicara sepatah kata pun.
Oh, jadi mereka bermusuhan.
Anna terkaget-kaget ketika menyaksikan sebuah perkelahian yang seimbang. Ketika satu pihak menerjang, maka lawannya sigap menghadang.
Ruangan tengah yang cukup luas menjadi arena pertarungan. Anna menyaksikan ayahnya mundur merapat ke dinding. Dia bermaksud menghindari kemungkinan terburuk jika berdekatan dengan kedua orang yang sedang dilanda amarah.
Ssttt, pisau dan golok berkelebatan di udara. Jika diantara mereka ada yang merasa terdesak, maka satu pihak akan mundur.
Apabila ada yang menyerang, maka menghindar cara yang aman untuk mengurangi resiko akibat tersayat senjata tajam.
"Ayah, ke mari!"
Anna ingin Tuan Eickman dekat dengannya. Laki-laki itu pun menuruti keinginan putrinya. Dia berlari ke arah pintu kamar kemudian berlindung di balik pintu.
Sesekali kedua orang yang sedang berkelahi itu terdiam. Memasang kuda-kuda.
Si Topeng Putih menyilangkan tangannya dengan golok di atas kepala. Cahaya lentera memantul pada batang logam yang mengkilat. Sedangkan Si Topeng Merah masih setia dengan pisau di tangan kanannya. Kuda-kuda yang dipasangnya hanya berdiri biasa saja. Kedua kaki membujur sejajar dengan kedua kanan menjuntai hingga di bawah pinggang.
Anna bisa membandingkan jika Si Topeng Merah bertubuh lebih tinggi dibandingkan Si Topeng Putih. Postur mereka memiliki keunikan yang bisa menjadi kekuatan masing-masing.
Apakah mereka sedang mengukur kekuatan lawan? Terdiam cukup lama.
Anna menoleh pada ayahnya. Wajah laki-laki itu begitu tegang.
"Eiiaaattttt!"
Keduanya menerjang di saat yang bersamaan. Si Topeng Merah mengayunkan tangan kanan dengan pisau yang menghujam ke arah jantung Si Topeng Putih. Mereka sama-sama melayang di udara.
Cahaya lentera bergoyang-goyang karena hembusan angin yang diciptakan kedua orang itu. Ditambah angin malam yang masuk melalui jendela yang terbuka.
Cahaya lentera itu seperti penengah diantara dua orang yang berselisih. Warna kuning keemasan dari api yang hanya sebesar biji kemiri itu berada tepat di tengah-tengah. Menerangi dengan sama rata pada mereka berdua yang sudah saling memangsa.
Sadar akan kekuatannya, Si Topeng Putih merunduk dan mengarahkan golok tepat ke arah betis Si Topeng Merah. Ssssttt, suara kain sobek terdengar pelan.
Dengan cekatan, Si Topeng Putih menggelinding demi menghindar serangan balik. Dia menjatuhkan tubuhnya ke lantai kemudian berputar ke arah pintu kamar. Kemudian dia berdiri tepat di depan Anna dan Tuan Eickman.
"Tutup pintunya!" Anna kaget dengan keadaan yang tiba-tiba itu.
Pintu ditutup sehingga Anna dan Tuan Eickman tidak bisa menyaksikan lagi pertarungan. Ketegangan sedikit berkurang karena Anna tidak harus menyaksikan senjata berkelebatan diantara dua tubuh yang sama-sama memiliki jiwa haus darah.
Sesekali terdengar meja atau kursi yang terjungkal hingga menghantam lantai. Bahkan perabotan yang terpajang di laci terdengar berjatuhan. Pecah.
Karena penasaran dengan keadaan di ruang tengah, Anna membuka sedikit daun pintu. Cukup untuk sebelah mata demi melihat keadaan.
Crrinngg!
Anna kembali menutup pintu.
"Kenapa?" Tuan Eickman bertanya penasaran.
"Ada cahaya di lantai."
"Mungkin itu golok yang menghantam lantai."
Anna berinisiatif untuk mengunci pintu. Tangan kirinya menggeser engsel yang terpasang di daun pintu.
Mereka berdua terdiam. Tanpa percakapan.
"Mereka berhenti?" hingga akhirnya Anna bisa menyimpulkan keadaan.
"Sepertinya begitu. Kita tunggu dulu ...."
Anna tidak mengindahkan perkataan ayahnya. Dia kembali membuka engsel dan menarik pintu hingga bisa menyaksikan apa yang tengah terjadi.
"Mereka sudah pergi."
Tuan Eickman pun melongok ke luar kamar.
Benar saja, suasana menjadi hening. Hanya ruangan yang berantakan tampak di pelupuk mata. Meja yang terbalik hingga perabotan yang berserakan terlihat diantara cahaya yang temaram. Lentera pun kini tergeletak di lantai, cahaya redupnya masih tersisa.
"Mereka ke mana?" Anna berlari ke arah jendela.
"Hati-hati!"
Tuan Eickman mengikuti anaknya ke depan jendela yang terbuka. Jendela dari arah lain selain arah masuk kedua orang tadi.
"Mungkin ada yang kabur."
Untuk beberapa saat mereka kebingungan. Sampai akhirnya mereka tahu ke arah mana kedua orang itu berlari. Cahaya dari lampu sorot di menara menemukan kedua orang itu.
Tong tong tong!
Kentongan pun dibunyikan oleh petugas di atas menara sebagai pertanda bahaya.
"Ah, telat. Tadi mereka ke mana saja."
Tuan Eickman tersenyum sinis mendengar anaknya marah-marah. Tangan kirinya memegang pundak Anna.
"Mereka pingsan." Tangan kanan Tuan Eickman menunjuk para centeng yang terbaring di tanah.
"Berarti kedua orang itu lihai menyelinap ke rumah dengan penjagaan ketat."
KAMU SEDANG MEMBACA
Panca dan Pembunuh Bayaran
Mystery / Thriller"Paman, sedang apa Paman Aditama di sini?" Anna menyaksikan seseorang yang dikenalnya sedang melangkah ke arah gerbong selanjutnya. Di belakangnya, ada seorang laki-laki berjubah sedang memegang pisau. Tangan laki-laki itu penuh dengan darah. Begitu...