Sebulan kemudian ...
Suasana Desa Pujasari begitu cerah pagi itu. Seperti biasanya, kegiatan warga desa tidak ada yang baru. Selain berkebun, mengembala ternak atau membuat gerabah, tak ada lagi pekerjaan yang bisa dilakukan.
"Alhamdulillah, kehidupan kembali seperti sediakala," tiba-tiba saja Panca berujar demikian di depan warga yang sedang bekerja.
"Memangnya, sebelumnya bagaimana, Raden?"
"Ah, banyak hambatan, Paman."
"Oh, begitu. Saya rasa, kehidupan di desa begini-begini saja."
Warga yang berkumpul tidak tahu apa yang telah terjadi pada Panca dan keempat sahabatnya. Tuan Eickman meminta perkara yang sedang mereka tangani tidak disampaikan pada warga desa. Meskipun warga desa sering bertanya-tanya ketika Panca, Raden Aditama, Bajra dan Pratiwi sering bepergian bersama.
"Maksud saya, usaha yang sedang kita jalankan, harus kembali menyiasatinya dengan cara lama. Ya, menjajakan barang dagangan hingga ke Batavia. Tidak memenuhi pesanan dari tempat jauh."
"Oh, begitu."
Panca menoleh pada Bajra. Mereka saling tatap. Bajra pun menggelengkan kepala sebagai pertanda jika dia tidak boleh membocorkan rahasia. Anak itu harus membiasakan diri untuk tidak mengumbar segala hal yang dialaminya. Ada hal-hal dimana tidak semua orang boleh tahu.
"Raden, tadi subuh ada domba yang melahirkan," Bajra mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Oh, ya? Kenapa kau baru mengatakan ini padaku?"
"Saya baru ingat, heh."
"Domba jantan atau betina?"
"Alhamdulillah, seekor domba jantan."
Sembari membicarakan musim ternak untuk beranak, Panca pun bersiap-siap untuk berjualan gerabah. Sebuah pedati sudah disiapkan di pekarangan. Seekor sapi ditambatkan di pohon sebelum nantinya diajak untuk menarik beban.
Anak remaja itu akan berdagang hingga ke Batavia. Biasanya, dia tinggal di sana hingga beberapa malam. Warga desa yang lain pun bermaksud melakukan hal yang sama.
"Pesanan gerabah dari Cirebon itu batal, Raden?"
"Hahaha, tentu saja, Paman. Pesanan dari Cirebon hanya bohong. Tuan Hasyim, si pemesan, sekarang berada di penjara." Panca menjelaskan pada seorang warga yang sedang bekerja.
"Bohong? Saya pikir, pengirimannya hanya tertunda."
"Saya juga berpikir demikian, Paman. Eh, ternyata dia penjahat yang berniat melakukan pembunuhan."
Ternyata Panca masih tidak sanggup menahan diri untuk tidak menceritakan perihal kelakukan Tuan Hasyim. Untungnya, Bajra menyimpan koran yang memberitakan hal itu. Sambil, terus berpura-pura jika mereka tidak terlibat dalam kejadian yang diberitakan. Jika ditanya, darimana mereka tahu cerita tentang Tuan Hasyim, mudah saja dijawab.
"Beritanya ada di koran," Bajra memperlihatkan foto yang memuat seorang pesakitan.
"Benar ini, ini Tuan Hasyim. Gambarnya mirip dengan dia."
"Ternyata, orang ini pembunuh."
"Padahal, saya rasa dia ini orang baik."
Prasangka baik pada seorang tamu memang baik. Itu juga yang sudah menjadi sifat warga pada umumnya. Mereka ramah pada tamu, sekaligus tidak curiga jika tamu tak dikenal akan mendatangkan malapetaka.
"Kami berangkat dulu, Paman, Bibi. Assalamu'alaikum!"
Panca dan Bajra berangkat meninggalkan kerumunan warga yang sibuk menata gerabah untuk dijemur. Pedati melaju pelan meninggalkan kampung melalui gerbang desa. Kemudian, si sapi diajak untuk berbelok ke arah kiri menuruni jalan yang sedikit curam.
"Dasar orang kampung," Panca membuka percakapan
"Kenapa, Raden?"
Panca heran dengan sikap orang kampung yang membicarakan kasus pembunuhan di Sukabumi. Kejadiannya sudah berlalu sekitar sebulan lalu. Dia mengungkapkan keheranannya pada Bajra setelah mereka berangkat menjauh dari Desa Pujasari.
"Untungnya, warga kampung mengetahui kejadian itu setelah sebulan berlalu. Kalau saja mereka mengetahui niat jahat Tuan Hasyim hari itu juga, aku yakin ... orang itu tidak akan diberi ampun."
"Aku juga berpikir begitu, Raden," Bajra setuju dengan pendapat Panca.
Sapi yang diajak untuk menarik beban itu tidak peduli dengan percakapan kedua orang yang duduk tepat di belakang pantatnya. Si sapi juga tidak peduli dengan sikap warga kampung tentang apa pun itu. Hal yang dipikirkannya hanyalah bagaimana dia tidak kehabisan tenaga ketika sampai di Batavia.
"Ada untungnya juga jika koran lambat sampai di kampung kita. Kejadian-kejadian yang membuat panik, setidaknya tidak sampai ke telinga warga dalam waktu cepat."
"Kepanikan itu bisa merepotkan. Sudah sering warga desa mengalami kepanikan. Itu membuat orang jadi takut keluar rumah dan malas bekerja."
"Bajra, ada baiknya kau suka membaca surat kabar. Setidaknya, berita yang tidak terlalu penting atau menambah genting, mending tidak usah disampaikan pada mereka."
"Ya, saya setuju, Raden."
Beberapa waktu kemudian, pedati sudah sampai di desa tetangga. Ada seseorang yang meminta mereka berhenti.
"Raden Panca, kebetulan lewat. Saya mau beli gentong untuk menyimpan beras, barangnya ada?"
Seorang wanita bermaksud membeli barang jualan. Tidak dinyana, baru juga keluar rumah sudah ada penglaris.
"Ada bagusnya kita tidak mengirim barang lewat Stasiun. Jadi kita bisa melayani pembeli orang desa sepanjang perjalanan," Panca sumringah sambil melayani si pembeli.
"Iya juga, Raden."
Ketika sedang memilih gentong yang dimaksud, wanita itu ingat sesuatu. Dia menatap Panca dan Bajra.
"Raden, beberapa hari lalu ada orang yang bertanya pada saya. Katanya, dia mau bertemu Raden Bakti, ayah Raden Panca?"
"Siapa, Bi?"
"Saya tidak tahu namanya. Dia hanya bertanya dimana Desa Pujasari. Terus, saya bilang di kaki gunung."
"Dia ... laki-laki ...?"
"Laki-laki. Wajahnya, seperti orang Arab. Tapi, bajunya sama seperti Raden, pakai baju pangsi."
"Ada apa ya?"
"Katanya, hanya ada keperluan."
Panca dan Bajra saling tatap.
"Kenapa, Raden? Sudahkah bertemu dengan mereka?"
"Mereka? Berarti banyak."
"Ya, banyak. Mungkin, ada dua puluh orang. Mungkin juga lebih. Mereka berkuda."
"Tapi, tidak ada tamu sebanyak itu berkunjung ke desa kami."
Wanita itu terheran-heran. Tentu saja Panca dan Bajra juga sama.
"Raden, apakah ini rencana cadangan yang kumaksud?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Panca dan Pembunuh Bayaran
Mystery / Thriller"Paman, sedang apa Paman Aditama di sini?" Anna menyaksikan seseorang yang dikenalnya sedang melangkah ke arah gerbong selanjutnya. Di belakangnya, ada seorang laki-laki berjubah sedang memegang pisau. Tangan laki-laki itu penuh dengan darah. Begitu...