4

126 27 0
                                        

"Nyimas, kau dari mana? Tadi, kami mencarimu hingga ke kebun singkong." Bajra heran ketika Pratiwi baru tiba ketika malam baru saja menjelang.

"Aku dari ...."

"Kau bersembunyi? Tapi, bersembunyi dari apa? Kenapa?"

"Ssstt, jangan keras-keras. Tadi, aku melihat orang asing yang mencurigakan. Sekarang dia ke mana?"

"Laki-laki itu, dia ada di rumah Ki Lurah."

Sontak, Pratiwi menjadi lebih tegang dari sebelumnya.

"Wajahmu nampak lebih tegang. Kenapa dengan orang itu? Sepertinya orang itu baik ...."

"Bajra bagaimana kau yakin jika dia orang baik?"

"Mmm ... kelihatannya dia orang baik. Kau sendiri, bagaimana bisa menyimpulkan jika dia mencurigakan?"

"Entahlah, aku punya firasat buruk tentangnya."

"Ah, itu hanya kebiasaanmu saja. Jarang bertemu orang asing, makanya kau selalu menaruh curiga tanpa alasan."

Bajra menutup kandang domba, kemudian berjalan ke arah pintu belakang rumahnya.

"Hei, tunggu aku."

"Kenapa lagi, Nyimas? Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Lagipula, orang itu mengenal Raden Aditama."

"Dia mengenal ayahku?"

Bajra menganggukan kepala.

Pratiwi terdiam. Dia memikirkan sesuatu. Ada keperluan apa dia datang kemari?

Bajra bisa menerka isi kepala Pratiwi. "Mungkin orang itu bermaksud memesan gerabah," Bajra mencoba membuat Pratiwi tidak terlalu mengedepankan kekhawatirannya.

Bajra berlalu kemudian masuk ke dalam rumahnya melalui pintu belakang. Sedangkan Pratiwi berjalan ke arah rumahnya sendiri. Kebetulan rumah mereka berdekatan. Begitupula dengan rumah Panca dan keluarganya.

Pratiwi bermaksud berjalan ke arah pintu belakang rumah orang tuanya. Menyusuri jalan setapak diantara tanaman sayuran yang tumbuh subur di pekarangan belakang. Ada pohon cabai, tomat dan beberapa pohon rimpang-rimpangan.

Namun, langkah gadis itu terhenti ketika mendengar percakapan yang berlangsung di rumah Panca.

Dia berbelok arah. Berjalan mendekat ke dinding rumah keluarga Panca. Dinding anyaman bambu diantara tiang-tiang kayu yang mulai menghitam karena pengaruh masa dan cuaca.

Pratiwi mendengar perbincangan diantara Ki Lurah Bakti _ayah Panca_ dengan tamu laki-laki yang tadi dilihat Pratiwi di kebun singkong. Gadis itu memasang telinga sambil berharap bisa mengetahui apa maksud kedatangan orang berperawakan tinggi itu datang ke Desa Pujasari.

***

"Tuan Hasyim, mohon maaf bila kedatangan Tuan tidak disambut dengan baik," Ki Lurah Bakti berbasa-basi sebagai bentuk keramahan ala warga Pribumi.

"Tidak apa-apa, Ki Lurah. Justru saya yang minta maaf karena datang ke sini menjelang malam. Saya jadi merepotkan Ki Lurah."

"Sebenarnya, kalau kami tahu Tuan akan datang ke mari, setidaknya kami bisa menjemput Tuan di Stasiun."

"Tadi, saya mencari sado yang mau mengantarkan saya ke sini, tapi mereka semua menolak. Karena datang ke sini malam-malam, sungguh membahayakan keselamatan." Tuan Hasyim menjelaskan kenapa dia datang dengan berjalan kaki.

"Iya, akhir-akhir ini perampokan lebih sering terjadi di jalan menuju desa kami. Sampai-sampai, desa kami dikenal sebagai desa yang tidak aman."

Lurah Bakti menyeruput teh hangat yang disediakan di cangkir seng motif loreng. Begitupula dengan Tuan Hasyim, dia terlihat menikmati jamuan alakadarnya dari tuan rumah.

"Begini, Ki Lurah. Saya langsung menyampaikan maksud kedatangan saya ke sini." Tuan Hasyim tidak ingin bertele-tele lebih lama lagi karena di tahu sebentar lagi masuk waktu maghrib.

Lurah Bakti menganggukan kepala dan memasang wajah penuh perhatian. Duduk di lantai beranda rumah panggung, sudah menjadi cara untuk menjamu tamu warga desa kala itu.

"Saya diutus para pengusaha di Cirebon untuk memesan gerabah dari Desa Pujasari. Jumlahnya cukup banyak."

"Bukankah di daerah Tuan juga banyak pengrajin gerabah?"

"Ya, tapi kami selalu kekurangan."

Lurah Bakti menganggukan kepala. Dia paham jika kebutuhan akan alat rumah tangga sedang terjadi peningkatan. Mungkin ekonomi warga Hindia Belanda sedang bertumbuh. Hal itu di luar pengetahuan seorang pengrajin gerabah dari pedalaman pulau Jawa.

"Permintaan terus meningkat. Kami harus memastikan jika persediaan cukup."

"Hanya saja, tempat kami jauh sekali dari pelabuhan. Membutuhkan waktu dan tenaga lebih lama untuk sampai di sana."

"Oh, Ki Lurah belum pernah menggunakan kereta api?"

Lurah Bakti menggelengkan kepala.

"Wah, kita coba. Angkut barangnya dari sini menggunakan pedati ke Stasiun Buitenzorg.* Nah, dari stasiun bisa dibawa dalam gerbong barang hingga ke Pelabuhan Tanjung Priok."

Lurah Bakti menganggukan kepala. Dia antusias mendengar penjelasan Tuan Hasyim.

"Apakah tidak terlalu beresiko?"

"Saya tahu. Makanya, saya sendiri yang akan mengawal barang dagangan dari sini."

***

Pratiwi akhirnya tahu untuk apa tamu Ki Lurah Bakti datang dari jauh. Benar kata Bajra, orang itu datang untuk memesan gerabah.

Pratiwi tidak bisa berlama-lama menguping pembicaraan pamannya dengan si tamu. Dia harus segera pulang, mungkin saja ibunya sudah menunggu di rumah.

Namun, ada sesuatu yang mengagetkan ketika gadis itu membalikan badan.

"Aww!" Pratiwi berteriak cukup kencang.

"Sedang apa kau di sini?"

-------

*) Buiternzorg adalah nama lama dari Bogor.

Panca dan Pembunuh BayaranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang