"Aku tahu jika ayahmu pulang ke sini ... tidak dalam keadaan baik-baik saja," Bajra menatap Pratiwi dengan sorotan mata tajam.
Pratiwi tidak bisa melawan sorotan mata sahabatnya.
"Kau memalingkan wajah, berarti apa yang aku katakan benar adanya."
"Bajra, biar itu menjadi urusan ayahku. Tidak semua orang berhak tahu apa yang terjadi dan akan terjadi pada keluarga kami."
"Aku tahu itu, Nyimas. Namun, Raden Aditama tidak berterus terang tentang keadaannya ... jangan salahkan warga kampung jika tidak bisa melindunginya."
Darah Pratiwi berdesir. Untaian kata yang keluar dari mulut Bajra seakan bukan berasal dari mulut seorang anak remaja. Kalimat itu seperti datang dari seorang guru spiritual.
"Aku bisa melihat kekhawatiran dari wajahmu, Nyimas."
Lagi-lagi Pratiwi merasa ditusuk ulu hatinya. "Aku sudah mengatakan itu, Bajra."
"Tapi, kekhawatiranmu kian bertambah ketika tahu ada yang tidak beres dengan ayahmu."
Bukan salah Bajra ketika dia terus mendesak Pratiwi untuk berterus terang tentang kondisi ayahnya. Pratiwi yang mengawali untuk meminta Bajra berterus terang akan isi pikirannya.
Bajra menatap ke langit. Matahari sudah condong ke Barat. Waktu dzuhur sudah lewat. Sebagaimana biasanya, dia harus segera mandi dan menjalankan sholat di surau.
"Tunggu sebentar, kita selesaikan dulu pembicaraan kita," Pratiwi memegang tangan Bajra yang hendak berjalan meninggalkan gadis itu.
"Berbicara apa lagi, Nyimas. Aku akan menyimpan apa yang aku pikirkan. Aku tidak bisa berterus terang tentang apa yang aku pikirkan ... sampai aku mendapatkan buktinya."
"Bajra, bukankah sebaiknya kita saling berterus terang untuk bisa berhati-hati."
Bajra menatap wajah Pratiwi. Dia menoleh ke lengannya yang masih dipegang. Pratiwi tersipu, dia melepaskan genggamannya.
"Ya, ayahku ... terluka. Ada bekas sayatan benda tajam di perutnya."
Bajra kaget dengan apa yang didengarnya.
"Ayahku berkelahi lagi. Sepertinya dia sulit untuk meninggalkan dunianya yang lama. Dunia yang hitam."
"Aku bisa merasakan kekhawatiranmu. Dia bercerita siapa yang melukainya?"
"Katanya, itu buntut dari masalah dengan perampok. Tapi, aku tidak yakin dengan apa yang dikatakannya."
"Lalu, apa yang kau perkirakan ... terjadi pada ayahmu?"
"Entahlah, ayahku ... masih belum berubah. Dia masih tergoda ... uang."
"Hubungannya dengan luka itu?"
"Aku merasa, ayahku ... datang ke rumah ... bukan semata untuk pulang. Sepertinya ... dia ingin melindungi kami dari sesuatu."
"Kenapa berkesimpulan begitu?"
"Karena, ayahku tidak pernah pulang dalam keadaan terluka. Dia lebih suka menunggu lukanya sembuh, kemudian pulang menemui keluarganya. Dia tidak ingin kami khawatir dengan keadaannya."
"Aku mengerti ke mana arah pembicaraanmu."
Pratiwi mengangkat kepalanya.
"Nyimas, sejujurnya aku melihat Raden Aditama meringis kesakitan ketika dia baru saja turun dari kuda. Aku melihat darah di bajunya. Karena warna hitam kain, darah itu tidak terlihat jelas. Sedangkan tadi pagi aku berada tepat di depannya."
"Kini ayahku enggan keluar rumah. Dia tidak mau orang lain tahu luka yang dialaminya."
"Karena orang-orang akan banyak bertanya macam-macam."
Pratiwi memejamkan mata.
"Sejujurnya, kau benar. Aku memikirkan hal buruk. Tapi, aku tidak ingin menuruti firasatku saja. Tapi, untuk berhati-hati ... aku memilih berterus terang padamu."
"Lalu, apa yang kau pikirkan, Bajra?"
Bajra menghela nafas.
"Katakan saja. Meskipun akan terdengar pahit. Ingat, ini bukan pertama kali kita terlibat masalah pelik."
Bajra mengajak Pratiwi bersembunyi di balik kandang sapi. Bajra ingin menyampaikan sesuatu yang tidak boleh ada seorang pun mendengarnya kecuali Pratiwi.
"Nyimas, kau ingat ... ketika pertama kali Tuan Hasyim tiba di sini. Dia mengatakan jika dia mengenal ayahmu. Dia mengenal orang-orang di sini."
"Ya, aku ingat."
"Tidakkah kau merasa jika itu ... berhubungan dengan apa yang terjadi pada ayahmu?"
"Mereka saling mengenal."
"Tapi, bukan sekedar kenal begitu saja. Aku yakin jika diantara mereka berdua ada sesuatu yang ... kita tidak tahu ... apa itu."
Wajah Pratiwi menegang. Matanya terbelalak. Dia langsung berbalik badan dan berjalan cepat hingga masuk ke dalam rumahnya lewat pintu belakang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Panca dan Pembunuh Bayaran
Mystery / Thriller"Paman, sedang apa Paman Aditama di sini?" Anna menyaksikan seseorang yang dikenalnya sedang melangkah ke arah gerbong selanjutnya. Di belakangnya, ada seorang laki-laki berjubah sedang memegang pisau. Tangan laki-laki itu penuh dengan darah. Begitu...