"Ketika tiba di ujung terowongan, aku melihat Raden Aditama dan Tuan Hasyim berkelahi di sambungan antar gerbong."
"Kenapa kau baru mengatakannya sekarang?" Pratiwi kesal.
"Ayahmu tidak ingin membuat kalian khawatir. Dia bekerja pada ayahku untuk mengawal perjalanan kami, walau dari kejauhan."
Anna menatap ketiga sahabatnya. Dia bisa menduga bagaimana reaksi ketiganya ketika menceritakan sepenggal kisah tentang 2 orang yang mereka kenal.
"Apakah kau berpikir jika pembunuhnya adalah ...," Pratiwi menyela.
"Tuan Hasyim, dia memegang pisau penuh darah." Anna menatap Pratiwi. "Dan, Paman Aditama sepertinya terkena sabetan pisau."
"Pantas saja kau begitu ketakutan, Nona ... ketika kemarin pagi melihat Tuan Hasyim," Panca menyimpulkan.
Anna membalikan badan. Dia berpikir sambil menyembunyikan kecemasan di wajahnya.
"Bajra, Panca, sekarang terbukti jika kekhawatiranku itu beralasan." Pratiwi seakan merasa ada pendukung atas kecurigaannya pada Tuan Hasyim.
"Sebenarnya, aku dan Bajra pun merasa curiga dengan orang itu. Pagi ini dia pulang tanpa berpamitan. Dan, meninggalkan pakaiannya ... serta 3 buah topeng ...."
Anna kembali membalikan badan. "Topeng? Topeng kayu?"
Bajra dan Panca menganggukan kepala.
"Bagaimana kau ... bisa menebak?" Pratiwi merasa heran dengan pertanyaan Anna.
"Semalam, rumahku disatroni seseorang dengan wajah ditutup topeng."
"Mencuri?"
"Bukan, dia mengancam akan membunuh ayahku."
"Kau yakin itu Tuan Hasyim?"
"Aku yakin karena bentuk tubuhnya mirip dengan orang itu walau tertutup topeng."
Semuanya terdiam. Mereka semakin menyadari jika keadaan sedang tidak baik-baik saja. Hal yang mengherankan ketika seorang pembunuh menampakan diri di depan mereka; seakan menantang.
"Tuan Hasyim bukan hanya menginginkan kematian seseorang. Dia pasti menginginkan hal lain ...," Bajra mulai menelisik di balik keadaan yang tengah dihadapi.
"Benar. Dia menginginkan uang ... dan saham perusahaan ayahku ...," Anna membenarkan.
Panca menengadahkan wajah ke langit. Kapan kami bisa hidup damai, ya Alloh?
Anna memejamkan mata. Pratiwi menoleh ke arah rumahnya. Bajra memperhatikan sikap gadis berkebaya itu.
"Nyimas, katakan saja apa yang ingin kau katakan. Agar jelas apa yang harus kita lakukan ke depan," Bajra seakan bisa menerka apa yang tengah dipikirkan tetangganya.
"Ha, aku hanya ...."
Anna membuka mata dan Panca pun mengarahkan pandangan pada Pratiwi.
"Ya, ayahku terluka. Sepertinya luka lama yang belum kunjung sembuh."
"Mungkin karena sabetan pisau ketika terjadi perkelahian di kereta api?"
"Sepertinya begitu. Meskipun ayahku tidak ingin berterus terang."
Semuanya kembali terdiam.
"Malam tadi ... orang itu pergi karena ada seseorang yang membantu kami."
"Mungkin itu ayahku. Karena, dia tertidur pulas pagi ini. Sepertinya, dia bekerja keras tadi malam. Ibuku pun seperti tahu akan hal itu. Hanya saja, mereka berdua merahasiakannya."
"Apakah dia bertopeng ketika datang ke rumahmu?" Panca menelisik.
"Ya," jawab Anna.
"Mungkin sekali ... Paman Aditama sudah menyadari keberadaan Tuan Hasyim dan maksudnya datang ke sini. Dia memeriksa perbekalan Tuan Hasyim dan menemukan topeng itu."
"Awalnya kami pikir topeng itu untuk menari. Ternyata ...."
"Untuk menyembunyikan jatidiri."
Semuanya kembali terdiam. Mereka memikirkan banyak kemungkinan.
Ketika mereka berempat menghadapi keadaan sulit seperti itu, maka keadaan seakan mencoba rasa kesetiakawanan diantara mereka. Dalam keadaan yang biasa saja, keempat remaja itu sering berbeda pendapat bahkan berselisih. Lalu, bagaimana ketika keadaan yang mengancam nyawa bisa menguji mereka?
"Apakah kita harus membicarakan ini dengan Paman Lurah?"
"Jangan, ayahku meminta ini dirahasiakan," Anna menyela.
"Kenapa?"
"Entahlah, ini sulit dijelaskan. Mungkin ini demi kepentingan usaha ayahku dan juga kenyamanan warga kampung. Ayahku tidak mau merepotkan banyak orang."
"Justru anaknya yang suka merepotkan ...," Panca bicara sekenanya.
"Oh, jadi kau merasa direpotkan olehku?!"
Bajra dan Pratiwi tersenyum.
"Kenapa kalian tersenyum?"
"Nona, hanya kau berani membentak Raden Panca."
"Maksudku bukan begitu, Nona Anna ... yang baik hati .... Aku hanya merasa jika kedatanganmu ke sini bukan hanya untuk berkeluh kesah. Pasti kau ingin kami terlibat sesuatu."
"Karena kalian sudah terlibat sejak awal. Kau yang membawa Tuan Hasyim ke datang ke rumahku. Dan, membuat keributan di sana."
"Maafkan aku untuk itu. Lalu, menurutmu kami harus bagaimana? Tidak ada yang bisa kami lakukan. Selain berhati-hati jika orang itu datang lagi ke sini."
"Setidaknya, kalian lebih berhati-hati apabila orang itu datang ke mari."
Anna melipatkan kedua tangannya di depan dada. Wajah gadis itu cemberut sambil meremas koran di tangannya.
"Nona, bolehkah aku menyelesaikan membaca berita itu," Bajra mengulurkan tangan.
"Ya, isinya sama dengan apa yang kulihat. Aku sendiri menjadi saksi di depan polisi. Hanya saja, kenapa yang ditangkap bukan Tuan Hasyim?"
"Menurutmu, siapa yang sudah merekayasa kasus ini?"
Anna menggelengkan kepala.
"Nona, di sini disebutkan jika kau melakukan perjalanan bersama para tuan tanah ke Bandung." Bajra kembali membicarakan kejadian di terowongan kereta api tempo hari.
"Ya, untuk pertemuan bulanan. Hanya berdiskusi tentang hal yang tidak aku mengerti," Anna membenarkan berita itu.
"Menurutmu, apakah pembunuhan Tuan Edward sudah direncanakan sebelumnya?"
"Mungkin. Tapi, siapa yang merencanakan?"
"Mungkin sekali, yang merencanakan adalah orang yang sama dengan orang yang mengutus Tuan Hasyim datang ke rumahmu?"
Anna terdiam. Dia mengingat-ingat detail kejadian tadi malam saat ada seorang tak dikenal menyatroni rumahnya.
"Bisa, jadi begitu, Bajra. Kau cerdas juga."
"Dia memang cerdas, Nona." Pratiwi mempertegas.
Anna mengerlingkan mata.
"Nona, kalau kita sudah tahu siapa dalang semua ini, apa yang akan kau lakukan?" Panca mempertegas tujuan mereka berkumpul di bawah pohon ketapang.
"Setidaknya, teror ini berhenti dan tidak timbul korban baru."
"Namun, bagaimana cara kita tahu siapa dalang di balik semua ini?"
Anna menatap ke arah cakrawala, "hanya ada satu cara untuk mengetahuinya."
"Bagaimana?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Panca dan Pembunuh Bayaran
Mystery / Thriller"Paman, sedang apa Paman Aditama di sini?" Anna menyaksikan seseorang yang dikenalnya sedang melangkah ke arah gerbong selanjutnya. Di belakangnya, ada seorang laki-laki berjubah sedang memegang pisau. Tangan laki-laki itu penuh dengan darah. Begitu...