Anna dan Tuan Eickman menjadi orang terakhir yang datang menghampiri ruang tengah kediaman Nyonya Edward. Hari telah malam, sudah saatnya makan malam dimulai.
Sang tuan rumah, menanti anak dan ayahnya itu dengan sebuah senyuman manis diantara kulit wajah yang berkerut.
"Tuan Eickman dan Nona, silakan duduk," Nyonya Eickman mempersilakan.
"Terima kasih, Nyonya."
Anna duduk tepat di sebelah kanan sang tuan rumah namun di sisi meja yang berbeda. Di sisi yang sama dengan Anna duduk Tuan Eickman, kemudian Tuan David dan istrinya. Di sisi yang berseberangan, duduk Tuan Robert dan istrinya kemudian Tuan William dan istrinya.
Setelah sedikit berbasa-basi, makan malam pun berlangsung dengan suasana penuh keceriaan. Di sela makan, sesekali mereka saling bertanya kabar masing-masing.
Dan, Anna mulai bosan dengan basa-basi seperti itu. Namun, dia mencoba untuk menjaga sikap dan memperlihatkan menjadi tamu yang baik. Sebagaimana pertemuan sebelumnya, dia akan mengundurkan diri jika pembicaraan sudah mulai serius. Tentu saja tamu lain akan memaklumi.
Namun, kali ini Anna tidak akan undur diri dari pertemuan itu.
Anna menunggu hidangan penutup di sajikan. Ketika saat itu telah tiba, maka gadis itu memberanikan diri membuka pembicaraan.
"Andai saja, Tuan Edward ada di sini," Anna bicara begitu saja tanpa memperhatikan orang di hadapannya.
"Sayang, bukan saatnya," Tuan Eickman memegang tangan anaknya sambil mengingatkan.
"Maaf, saya tidak bermaksud ...."
Suasana hening sejenak.
"Tidak apa-apa. Nona Anna memang benar, andaikan suamiku masih di sini. Mungkin dia akan duduk di kursi yang kosong itu," Nyonya Edward memandang ke arah kursi di ujung meja yang masih kosong.
"Maaf, saya hanya berharap jika pembunuhnya dihukum sangat berat," Tuan William bersemangat memberikan opini.
Tamu yang lain menganggukan kepala. Anna berhasil memulai sebuah tema untuk bergosip ala wanita dewasa.
"Untungnya, penjahat itu sudah ada di tangan polisi." Tuan William kemudian meraih gelas di hadapannya.
Setelah diberi perintah, seorang wanita pembantu datang membereskan peralatan makan dan sisa makanan di atas meja. Anna menunggu orang itu menyelesaikan pekerjaannya. Bagi gadis itu, bicara perlahan itu penting untuk mengendalikan keadaan. Dia sadar jika orang di hadapannya adalah sekumpulan manusia terhormat di tanah Priangan.
"Tuan William melihat sendiri pembunuh yang dimaksud?" Anna menatap laki-laki di seberang meja. Mata mereka bertatapan. Hanya wadah lilin yang menghalangi pandangannya.
"Sayangku, tentu saja aku melihat dari koran."
"Tapi, bukan dia yang saya lihat di gerbong kereta api ...."
"Apa maksudmu, Nona?"
"Ya, foto yang terpampang di koran berbeda dengan wajah yang saya lihat di gerbong kereta api di saat terbunuhnya Tuan Edward."
Tuan William tersenyum. Sedangkan istrinya terheran-heran. Begitupula Tuan David dan Tuan Robert berserta istrinya.
"Kau yakin dengan apa yang kau katakan, Nona?" Tuan David mengkonfirmasi.
"Saya sangat yakin, hanya saja saya belum sempat menemui polisi untuk mengatakannya."
Tuan William memotong pembicaraan, "tidak usah. Buat apa?"
"Tuan, saya akan merasa bersalah seumur hidup karena membiarkan orang tak bersalah mendekam di penjara atau mungkin dihukum gantung."
"Ah," Tuan William tampak gusar. Dia menjatuhkan punggungnya ke kursi.
Tuan Eickman sepertinya tidak ingin suasana malam itu memperkeruh perasaan para tamu. "Sayangku, kita bicarakan ini lain kali," seraya memegang tangan Anna.
"Tidak apa-apa, Tuan. Saya juga ingin mendengar pendapat putri anda. Bagaimana pun dia satu-satunya orang yang melihat wajah pembunuh suamiku."
Anna merasa di atas angin.
"Waktu itu, gerbong gelap karena kereta masuk ke dalam terowongan. Dan, kebetulan Nona Anna melihat seseorang yang berlumuran darah tepat di ujung terowongan."
"Dua orang, tepatnya dua orang."
"Ya, tidak ada seorang pun yang melihat dengan jelas apa yang terjadi karena gelap. Namun, saya hanya ingin mengatakan jika ... kejadian ini ... hanya sebuah awal dari pembunuhan yang terjadi selanjutnya."
"Tuan Hofland, maksudmu?" Nyonya Robert mengerti arah pembicaraan Anna.
"Ya, meskipun itu hanya baru dugaan saya saja, Nyonya."
Tuan William nampaknya tidak nyaman dengan pembicaraan ini. Dia mulai memalingkan wajah ke berbagai arah.
"Tuan William, kenapa dengan anda? Adakah sesuatu yang ingin anda sampaikan, Tuan?" Anna seperti pemimpin sebuah persidangan yang mengetahui isi hati si peserta sidang.
"Sejujurnya, aku datang ke sini untuk membicarakan hal lain. Dan, membiarkan polisi bekerja."
Nyonya Edward sudah merasakan ketidaknyamanan tamunya itu. Dengan cekatan, dia segera menguasai keadaan.
"Baiklah, masih ada esok pagi. Kita bicarakan hal yang ingin Tuan William bicarakan. Sekarang, kita menikmati malam ini. Di luar, sudah ada rombongan penari yang ingin menghibur kita."
Akhirnya, jamuan makan malam selesai. Semua tamu berjalan ke beranda.
Di pekarangan, sudah berkumpul para pegawai dan rombongan penari lengkap dengan musik pengiring. Dari cara mereka berpakaian, sepertinya mereka akan mempersembahkan tarian jaipong atau semacamnya. Terlebih, seperangkat alat musik khas seperti gendang, gong dan lainnya sudah siap untuk dimainkan.
"Nona Anna, bisakah kita bicara?" Tuan William mengajak Anna untuk bicara di sudut ruang tamu.
"Tentu saja, Tuan."
Mereka berdua melangkah menjauh dari yang lainnya.
"Kau yakin jika pembunuhnya bukan orang yang tergambar di koran?"
"Saya yakin. Yakin sekali."
"Bisa saja ...."
"Saya salah melihat? Apakah Tuan meragukan kata-kata saya?"
"Eee, tidak. Aku hanya ...."
"Bagaimana Tuan? Rekayasa yang telah anda lakukan tidak berhasil?"
Tuan William terhenyak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Panca dan Pembunuh Bayaran
Misteri / Thriller"Paman, sedang apa Paman Aditama di sini?" Anna menyaksikan seseorang yang dikenalnya sedang melangkah ke arah gerbong selanjutnya. Di belakangnya, ada seorang laki-laki berjubah sedang memegang pisau. Tangan laki-laki itu penuh dengan darah. Begitu...