Anna dan Pratiwi dikawal masuk ke ruang tengah bangunan utama rumah Nyonya Edward. Kedua gadis itu duduk berdampingan. Tentu saja Pratiwi mengerti ketika tamu lain menatapnya heran. Begitu akrabkah mereka berdua?
"Saya tunggu di luar, Nona."
"Jangan, temani aku di sini. Duduklah." Anna melarang Pratiwi pergi padahal sahabatnya itu sudah berdiri bermaksud melangkah ke luar.
"Tapi, saya tidak selayaknya berada di sini."
"Pembunuh itu masih berkeliaran di luar. Apakah kau tidak khawatir jika aku menjadi sasaran berikutnya?"
Pratiwi mengerti maksud Anna.
Pikiran Anna sedikit lebih lega ketika Pratiwi bersedia menemani. Ditambah, seorang babu menyediakan secangkir teh hangat di atas meja. Wanita tua itu merunduk tidak berani menatap Anna. Tapi, dia berani menatap Pratiwi. Hal yang tidak biasa ketika seorang gadis pelayan berani duduk di atas kursi sebagaimana majikannya.
"Pratiwi sahabat saya. Dia bukan pelayan. Jadi tidak usah memandangnya seperti itu," Anna protes pada sikap babu itu yang mempertanyakan status Pratiwi.
Babu itu kembali ke dapur. Dia tidak berani terlalu banyak mempertanyakan sikap para tamu. Bagi wanita setua dia, bergosip dengan sesama pembantu lebih menyenangkan. Walaupun saat itu bukan waktu yang tepat untuk bergosip.
Anna bermaksud bermalam di bangunan utama rumah Nyonya Edward. Hanya ada tiga paviliun yang tersedia, makanya gadis itu harus menunggu di sana. Sedangkan tamu yang lainnya bermalam di paviliun. Setelah kabar kematian Tuan William membuat gempar, tentu saja tamu lainnya segera menempati paviliun lainnya.
"Bagaimana perasaanmu, sayangku. Lebih baik?" Nyonya Edward berjalan ke arah Anna.
Pratiwi bermaksud pergi. Tapi tangan Anna menahan gadis itu.
"Kau temani Nona Anna. Kalian masuk saja ke kamar."
"Saya lebih baik di sini."
"Kau yakin? Di luar sana suasana sedang tidak baik-baik saja. Aku pun sebenarnya ingin segera tidur dan melupakan ini semua. Tapi, itu tidak mungkin. Aku tuan rumah."
Pratiwi masih memegangi tangan Anna. Gadis itu menatap ke depan dengan namun bukan menatap Nyonya Edward. Arah matanya menuju ke meja tapi dia tidak sedang memperhatikan meja. Anna sedang membayangkan kejadian mengerikan yang dialaminya.
"Nyonya, apakah pembunuh Tuan William adalah orang yang sama dengan pembunuh Tuan Hofland?"
"Entahlah. Aku pun curiga demikian. Tapi tidak ada bukti yang menunjukan itu."
"Nyonya, beberapa waktu lalu ... rumah kami disatroni seseorang yang bermaksud membunuh Ayah." Anna mengangkat dagunya. "Orang itu memakai topeng, kami tidak mengenalinya."
"Benarkah? Ayahmu belum bercerita padaku."
"Orang itu ... mengancam akan membunuh jika tidak memberikan setengah dari saham perkebunan garapan keluarga kami."
Anna menatap tajam Nyonya Edward.
"Lalu?"
"Ayah tidak memberi apa yang dia minta. Pengawal kami bertarung hingga dia terusir dari rumah."
"Aku turut perihatin akan hal itu."
"Apakah Nyonya pernah didatangi orang demikian?"
Nyonya Edward tidak langsung menjawab pertanyaan Anna.
"Saya pernah diancam demikian!" Ternyata Tuan David menjawab tanpa ditanya. "Dia meminta saham milik perkebunan kami. Tapi, aku berjanji akan memberikannya."
"Maka dari itu, Anda selamat."
Tuan David mengangguk. Tapi, istrinya memberi isyarat suaminya.
"Biar saja, sayang. Aku tidak ingin menyimpan ini sampai mati. Sebenarnya aku datang ke sini untuk membicarakan itu. Tapi, aku menunggu waktu yang tepat."
Tuan David duduk di kursi dengan meja berbeda. Tangan kanannya memegang sebatang sigaret. Dia belum menyalakan benda berbahan tembakau itu. Kecemasan masih terlihat di wajahnya. Sang istri mencoba menenangkan. Walaupun mereka sama-sama tegang.
"Jika begitu, saya mengerti kenapa para tamu membawa pengawal begitu banyak. Tidak sebagaimana pertemuan sebelumnya." Nyonya Edward menatap ke arah Tuan David yang mulai menyalakan rokok.
"Mungkin Tuan David merasakan kekhawatiran sama dengan yang lainnya," imbuh Anna.
"Jika kini Tuan William sudah tiada, apakah kau masih berpikir jika dia yang merekayasa berita di koran?" Nyonya Edward bertanya pada Anna.
Anna terdiam.
"Aku mendengar kalian membicarakan itu. Maaf, bukan bermaksud tidak sopan. Hanya saja, aku tidak ingin tamuku tidak nyaman berada di sini." Nyonya Edward menghela nafas. "Walaupun, sekarang bukan hanya ketidaknyamanan yang kita rasakan ...."
Tuan David masih sulit berkomentar. Dia lebih suka memainkan asap yang keluar dari mulutnya.
"Maaf, Tuan dan Nyonya David, apakah kalian melihat di mana Tuan dan Nyonya Robert?"
"Mungkin mereka di paviliun, Nyonya. Saya melihat mereka berdua masuk ke sana. Mungkin mereka mau menenangkan diri."
Anna seperti terkaget-kaget dengan keterangan dari Tuan David. Gadis itu mengarahkan pandangan pada pria itu. Tak lama kemudian, dia beranjak. Melangkah ke arah pintu utama, diikuti oleh Pratiwi.
"Nona, hendak ke mana?"
"Tuan Robert."
Anna membuka pintu. Seorang pengawal teralihkan perhatiannya ketika suara pintu dibuka terdengar. Pengawal lainnya sama-sama melihat ke arah Anna dan Pratiwi.
"Nona, sebaiknya Nona menunggu di dalam."
"Tidak. Aku harus menemui Tuan Robert."
Anna melangkah ke arah tangga beranda. Kakinya hampir saja menyentuh tanah. Tapi, itu urung dilakukan. Karena, ada seseorang yang meminta perhatian.
"Tolong! Suamiku!"
Nyonya Robert berlari ke arah bangunan utama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Panca dan Pembunuh Bayaran
غموض / إثارة"Paman, sedang apa Paman Aditama di sini?" Anna menyaksikan seseorang yang dikenalnya sedang melangkah ke arah gerbong selanjutnya. Di belakangnya, ada seorang laki-laki berjubah sedang memegang pisau. Tangan laki-laki itu penuh dengan darah. Begitu...