Anna tidak menyangka jika anggota komplotan itu masih mengikutinya hingga mendekati mata air. Gadis itu mencoba tenang sekaligus menenangkan si Bruno, anjing miliknya yang menggonggong dan memamerkan gigi taringnya.
"Ternyata kalian belum menyerah?"
"Tentu belum, Nona."
Sialan, mereka benar-benar merencanakan semuanya dengan baik. Terlintas dalam pikiran Anna jika komplotan penyandera merencanakan banyak hal. Termasuk siapa yang bertugas mengintai.
"Sebenarnya apa yang kalian inginkan dariku? Kenapa tidak kau bunuh saja aku?"
Ketika Anna berbicara tentang pembunuhan, Panca dan Bajra bertambah tegang. Mereka berdua sulit mengerti kenapa Anna seakan menginginkan kematian.
"Nona, kau jangan bicara begitu?"
"Biarlah Bajra. Bila saja aku mati, mungkin permasalahan hidupku akan selesai."
Si penyandera tidak ingin ada lagi percakapan antara Anna dan kedua sahabatnya. Untuk itu, dia memperingatkan Anna untuk tidak banyak bicara.
"Diam! Aku tak ingin mendengar ocehanmu. Kalau saja bukan karena permintaan si pemesan, aku sudah membunuhmu sejak kemarin."
"Pemesan? Siapa pemesan yang kau maksud?" Anna bertanya penasaran.
"Ah, sudahlah kau tidak perlu tahu!"
Tanpa terhitung, Anna sudah mundur puluhan langkah ke belakang. Menjauh dari Panca, Bajra dan si Bruno yang masih berdiri terpaku.
"Hei, apakah kau tahu jika kawan-kawanmu sudah mati semuanya?"
"Ah, aku tak perlu tahu."
"Ingat, kau kini sendiri. Percuma saja kau meneruskan misi yang kau emban. Lebih baik pulang dan temui anak-istrimu."
"Kau terlalu banyak bicara."
Anna melihat kawan-kawannya mulai berjalan berusaha untuk tetap bisa memantau dirinya. Namun, Anna memastikan jika dirinya baik-baik saja. Hanya tubuhnya yang semakin lemah. Kulit putih gadis itu terlihat pucat karena banyak darah yang menetes.
"Nona Anna, sebaiknya kau bekerjasama dengan kami. Tidak usah melawan. Agar urusan diantara kami cepat selesai."
"Bagaimana aku bisa bekerjasama dengan orang-orang seperti kalian?"
"Ah, kau ikuti saja rencana kami. Maka kau akan dibebaskan. Hanya itu."
"Aku sulit percaya pada orang-orang seperti kalian."
Anna berhenti mengikuti langkah orang yang menyeretnya. Dia berhenti tepat di bawah sebuah pohon.
"Ayo, ikuti aku! Jangan berhenti!"
Anna bersikeras untuk berdiri di sana. Orang yang menyanderanya pun bersikukuh untuk menyeretnya hingga jauh. Namun, tentu saja Anna memiliki alasan kenapa dia tetap bersikukuh berdiri di bawah pohon.
"Ahhh!"
Orang yang menyandera Anna berteriak. Gadis itu pun segera menjauh ketika sebilah pisau sudah tidak lagi terkalung di lehernya.
Seekor ular mengigit pundak laki-laki si penyandera. Dia mengerang kesakitan sekaligus tidak bisa menghentikan hewan melata itu ketika terus menggigitnya. Giginya menancap ke dalam kulit. Tubuhnya yang berwarna hijau meliuk-liuk sambil terus melingkari leher orang yang menjadi mangsanya.
"Nona, ayo cepat pergi!"
Panca dan Bajra serta Bruno menghampiri Anna. Mereka membawa gadis itu menjauh. Mengarah ke arah yang berlawanan. Mereka berempat berjalan cepat ke arah tebing. Anna dibopong oleh kedua anak remaja itu. Sedangkan si Bruno berjalan di belakang sambil terus mengamati keadaan.
"Tenang, Bruno. Sepertinya dia tidak akan mengejar kita. Dia digigit ular beracun," Anna meyakinkan anjing peliharaannya untuk tetap tenang.
"Aku berharap begitu."
"Tapi, Nona. Aku masih penasaran, ke mana kau akan mengajak kami?" Bajra bertanya.
"Ah, nantinya kau akan tahu."
Anna menengadah ke atas tebing. Berharap tidak ada orang lain yang memperhatikan. Kemudian dia pun mengarahkan pandangan ke sekeliling hutan.
"Sepertinya tidak ada lagi yang mengejar kita, Nona." Panca membantu untuk memastikan keadaan baik-baik saja.
Anna menghela nafas. Dia tidak bicara sepatah kata pun. Justru, kembali mengamati keadaan di sekelilingnya.
"Ada apa, Nona?"
"Aku hanya khawatir jika orang itu mengikuti kita," Anna mengemukakan alasannya kenapa dia terdiam.
Panca dan Bajra mengerti maksud Anna kenapa gadis itu terdiam. Sekaligus, mereka berdua masih belum mengerti kenapa Anna mengajak mereka berdiri di bawah tebing. Panca dan Bajra masih tetap berhati-hati dan lebih memilih mengikuti arahan Anna karena sepertinya gadis itu tahu apa yang harus mereka lakukan.
Hutan itu hening kecuali terdengar suara serangga dan kicauan burung. Berharap tidak ada hewan buas menghampiri, ketiga remaja dan seekor anjing itu masih mengamati keadaan sekitar. Hingga, Anna menyampaikan maksud kenapa kawannya diajak ke sisi tebing.
"Aku ingin menunjukan ini pada kalian," Anna bicara sambil mencondongkan tubuhnya ke sisi tebing.
"Apa itu?"
Anna menyibak dedaunan yang menghalangi sisi tebing.
"Sebuah pintu?"
Anna tidak menjawab keheranan Panca dan Bajra. Gadis itu lebih memilih untuk meneruskan maksudnya. Membuka pintu yang dimaksud.
Sebuah pintu dengan ukuran sekitar satu meter persegi. Terbuat dari kayu yang disusun rapi. Ketika dibuka, ternyata pintu tebal dengan lapisan serupa di bagian dalamnya. Hal yang membuat Panca dan Bajra terpana adalah kegunaan dari pintu itu. Membawa mereka masuk ke dalam sebuah lubang.
"Bruno, hati-hati," Bajra memperingatkan si anjing karena masuk begitu saja tanpa diminta.
"Dia sudah pernah ke tempat ini," Anna memberikan keterangan. "Didalamnya masih gelap. Tapi tenang, ada lilin yang bisa dinyalakan."
"Cukup untuk kita bernaung," Panca memberikan pendapatnya tentang tempat yang ditunjukan oleh Anna.
Si Bruno kembali ke pintu. Anjing memberi isyarat jika di dalam baik-baik saja. Tidak ada ular, kelabang atau semacamnya. Anna pun mengajak kedua sahabatnya untuk ikut masuk ke dalam lubang itu. Terlebih, ada sesuatu yang mengharuskan mereka segera masuk.
Seseorang datang dari arah tak terduga. Tubuhnya terhuyung seakan kehabisan tenaga. Dia berlari ke arah pintu lubang dan hampir bisa meraih tubuh Bajra yang berdiri paling belakang.
"Hei, ternyata kalian di sini, bocah tengik!"

KAMU SEDANG MEMBACA
Panca dan Pembunuh Bayaran
Mistério / Suspense"Paman, sedang apa Paman Aditama di sini?" Anna menyaksikan seseorang yang dikenalnya sedang melangkah ke arah gerbong selanjutnya. Di belakangnya, ada seorang laki-laki berjubah sedang memegang pisau. Tangan laki-laki itu penuh dengan darah. Begitu...