Sengaja aku tidak memberi tahu Ethan bahwa aku sudah sampai di rubanah apartment-nya. Dengan langkah kaki yang tidak terlalu tergesa, aku berjalan keluar mobil dan menuju ke arah pintu elevator. Apartment Ethan terletak di lantai lima, tidak begitu tinggi dan juga tidak begitu dekat dengan keramaian di lantai dasar.
Ketika aku akan menekan tombol untuk membuka pintu elevator, ada seorang perempuan tersenyum padaku. Rupanya dia juga akan menuju ke dalam elevator yang sama denganku.
"Hai!" sapanya ramah.
Aku menatapnya sekilas, "hai! Lantai berapa?"
Ingatanku seketika kembali pada masa-masa koma beberapa bulan yang lalu itu. Perempuan yang sedang berdiri di sampingku ini sangat tidak asing bagiku. Wajahnya sangat melekat di dalam otakku, aku seperti mengenalnya.
"Oh iya, lantai lima," jawabnya dengan senyum yang terus merekah.
Kami berdua masuk ke dalam kabin elevator nyaris bersamaan. Untuk menghindari suasana canggung, kemudian aku mempersilakan gadis dengan rambut sebahu ini untuk masuk terlebih dahulu.
"Sudah lama tinggal di sini?" tanyanya memecah hening.
Aku tersenyum tipis, "nggak. Aku cuma berkunjung ke tempat teman."
"Oh! Lantai berapa?"
"Lantai lima juga."
"Setahu aku, di lantai lima cuma ada satu laki-laki yang tinggal di sana. Dia tinggi juga seperti kamu dan ganteng," kata perempuan itu sambil tertawa kecil.
"Ethan namanya. Aku temannya," jelasku singkat.
Perempuan itu segera memutarkan badannya ke arahku, wajah manisnya terlihat begitu berseri-seri ketika aku menyebutkan bahwa aku adalah teman Ethan.
"Tell him that I say hello," katanya lagi.
"I will. Apa Ethan mengenal kamu?"
Dia menggeleng cepat, "aku baru pindah kemarin. Aku rasa teman kamu nggak tahu siapa aku, tapi aku sempat melihatnya keluar dari kamarnya kemarin. Bilang sama dia kalau Farra kirim salam, ya?"
Perempuan yang ternyata bernama Farra ini kemudian berjalan keluar ketika kami sudah sampai di lantai lima dan pintu elevator terbuka. Kaki jenjangnya melangkah ringan meninggalkan aku yang masih tercengang di dalam kabin elevator. Nama dan wajahnya sungguh tidak asing bagiku.
Sementara perempuan itu berbelok ke arah kanan, aku mengambil jalan ke kiri. Apartment Ethan terletak di ujung koridor. Tentu saja Ethan tinggal di dalam apartment mewah dan sangat nyaman untuk ditinggali laki-laki lajang seperti dia. Aku sudah pernah menyarankan Ethan untuk membeli sebuah rumah, tapi dia merasa lebih nyaman tinggal di apartment seperti sekarang.
Kuketuk pintu kayu berwarna coklat tua itu dengan sedikit keras. Melihat jam digital di tangan kananku, aku sangat yakin bahwa Ethan pasti sedang mendengkur di dalam sana.
"Wait!" teriaknya dari dalam.
"Need a good news?" kataku sambil menerobos masuk setelah pintu terbuka.
"What the..." sergah Ethan kesal.
"Tetangga baru kamu titip salam. She's so pretty!" kataku tanpa mempedulikan kekesalan Ethan.
"Kamu butuh apa, Tuan Muda? Tumben-tumbennya sudi mampir ke dalam gubuk hamba?"
"Di sini boleh merokok nggak, sih?" tanyaku tanpa mempedulikan sarkasme Ethan.
"Di balkon," jawabnya sambil menunjuk ke arah luar.
Aku berjalan menuju pintu yang menghubungkan ruang televisi dengan balkon. Kedua bagian ruangan dari apartment ini dipisahkan oleh sebuah pintu kaca geser berukuran cukup besar. Begitu pintu kaca itu dibuka, suara bising dari luar segera menyerbu masuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perempuan yang Aku Nikahi
RomantizmSelain membutuhkan pasangan, menikah juga membutuhkan cinta. Namaku adalah Alan Chevalier Hartadi. Laki-laki dua puluh sembilan tahun dengan fisik yang tidak perlu diragukan lagi dan kekayaan yang begitu melimpah. Aku rasa, aku tidak memiliki kesuli...