Kyara mengerjapkan kedua matanya, seperti tidak percaya bahwa aku mengajaknya untuk tidur bersama setelah permasalahan Danish yang baru selesai ini. Aku sendiri juga tidak percaya pada hilangnya akal sehatku saat mengajak perempuan ini tidur bersama. Tidak dapat aku pungkiri, ada sisi laki-laki dalam diriku yang merindukan Kyara dalam arti lebih.
"You may say that I have lost my mind, but I do miss you, Kyara Sherianne Nadira..." kataku, "aku nggak akan meminta lebih dari tidur satu ranjang, aku hanya ingin berada dekat sama kamu..." lanjutku ragu.
Terdengar hembusan nafas kecil keluar dari hidung Kyara, "kamu masih mau menjadi pacarku, Lan?"
Mataku membulat penuh minat mendengar pertanyaannya, "with no hesitation, Dear..."
"Make it official."
Mendengar ucapan Kyara yang terdengar sungguh-sungguh, aku segera berjalan menuju ke arah rak televisi. Di atas sana ada beberapa beer kemasan kaleng yang sengaja aku beli dari bar di luar dua hari yang lalu. Tanpa memberi penjelasan kepada Kyara, aku membuka kaleng itu tepat di depannya. Ada sedikit busa yang keluar dari mulut kaleng, membuat tangan kananku basah.
"Dear Kyara Sherianne Nadira, would you be my wife?" aku berlutut di depannya sambil menyodorkan pull tab yang telah aku tarik dari kaleng beer buatan Denmark itu.
Kyara mengigit bibir bawahnya, —tampak begitu menggemaskan bagiku— sambil menatapku dengan pandangan yang tidak dapat aku definisikan. Kutatap wajahnya dengan pandangan sedikit memohon, sudah sekian detik dia terus menatapku tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Aku menjadi sedikit gugup dibuatnya.
"Ra?" aku memanggil lembut namanya, "aku tahu ini bukan sebuah proposal yang kamu harapkan. Tapi aku belum membeli sebuah cincin yang layak aku sematkan di jari manis kamu."
"Aku nggak meminta kamu untuk melamarku, Alan..." jawab Kyara, pandangannya masih tidak beralih dari wajahku, "aku hanya meminta kamu untuk menjadikanku sebagai pacar kamu."
Aku tersenyum kecil, "aku nggak mau kehilangan kamu lagi, Ra..."
***
Setelah matahari terbenam dan setelah aku menyampaikan keinginanku untuk memperistri Kyara tadi sore, sampai malam ini pun perempuan itu belum juga memberikan jawaban yang melegakan hatiku. Kyara hanya tersenyum dan meninggalkan aku di dalam kamar, sendirian, aku masih menggenggam pull tab kaleng beer yang tidak disentuh olehnya. Aku merasa sangat bodoh saat itu, tapi tentu saja aku merasa tidak masalah menjadi bodoh untuk Kyara karena tidak bisa membendung keinginanku untuk menjadikan dia istri.
"Pak Alan?" suara Amanda terdengar di luar pintu kamarku.
"Ya, Manda?" sahutku dari dalam sambil beranjak untuk membuka pintu.
"Saya mengganggu nggak, Pak?" tanya sekretarisku ini dengan senyum penuh makna, "ada Mbak Kyara di dalam?"
Aku meliriknya, "kenapa? Kamu cemburu?" candaku.
Amanda menggeleng cepat, "saya nggak mungkin menang kalau saingan sama Mbak Kyara, Pak... Saya sadar diri."
"Kyara nggak ada di dalam," aku tertawa, "ada apa, Manda? Tumben kamu mampir ke kamar saya? Saya kira kamu lupa kalau setelah acara berlibur di Bintan ini kamu masih resmi menjadi sekretaris saya," cecarku.
"Besok kan hari terakhir kita di sini, Pak... Saya hanya mau mengingatkan kalau besok kita harus sudah check out jam sepuluh pagi," jelas Amanda.
"Loud and clear," jawabku cepat.
"Ya sudah, Pak Alan... Saya kembali ke kamar dulu. Malam ini staff Bapak akan mengadakan pesta kecil-kecilan di taman yang terletak di depan kamar kami," kata Amanda seraya melangkah pergi menjauh dari pintu kamarku, "kami akan merasa sangat senang kalau Pak Alan bisa bergabung."
KAMU SEDANG MEMBACA
Perempuan yang Aku Nikahi
RomanceSelain membutuhkan pasangan, menikah juga membutuhkan cinta. Namaku adalah Alan Chevalier Hartadi. Laki-laki dua puluh sembilan tahun dengan fisik yang tidak perlu diragukan lagi dan kekayaan yang begitu melimpah. Aku rasa, aku tidak memiliki kesuli...