Kalau ada yang mengatakan bahwa aku tidak terluka dengan apa yang terjadi pada Kyara dan Ethan, tentu mereka harus ada di posisiku sekarang. Tapi, kalau ada yang mengatakan bahwa apa yang terjadi pada Kyara dan Ethan adalah karena perbuatanku sendiri, maka aku tidak akan menyalahkannya. Aku memang sudah berada dalam usia yang sangat matang untuk menjalin hubungan romantis dengan lawan jenis, bahkan aku sudah lebih dari matang untuk menikah. Tapi kalau untuk jatuh cinta, maka aku akan kembali menjadi remaja belasan tahun yang baru mengerti apa itu cinta. Bodoh? Pasti.
SUV hitam yang aku kendarai baru saja sampai di tempat parkir dealer. Sudah tiga hari aku tidak datang ke kantor. Sebenarnya tentu tidak ada masalah kalau aku tidak datang ke kantor, karena bisnis yang Papa bangun ini sudah berumur puluhan tahun. Bisnis Papa ini sudah autopilot, sudah berjalan dengan sendirinya. Papa punya ratusan staff yang tidak perlu lagi diragukan kemampuannya, mereka sudah sangat terlatih untuk membantu kami menjalankan bisnis ini.
Seperti Amanda, dia tidak pernah meneleponku sama sekali sejak aku mengatakan bahwa aku sedang tidak ingin diganggu dan hanya mau di rumah. Sekretarisku itu sangat patuh dan sama sekali tidak ada notifikasi email atau chat atau panggilan darinya untukku. Sehingga ketika aku tiba-tiba datang ke kantor pagi ini, dia terlihat sangat kaget sekaligus kegirangan.
"Are you okay, Pak Bos?" sapanya super ramah begitu aku melewati mejanya.
Aku meliriknya sekilas, "kalau saya sih okay. Kalau kamu?"
"Semua hal baik-baik saja, Pak Alan..." jawab Amanda sambil mengekorku.
"Tapi?"
"Tapi... Eeerrr..." Amanda tidak segera melanjutkan kalimatnya, "Bapak tahu kalau Mbak Danish selalu ke sini selama Bapak nggak datang ke kantor?"
Aku tertawa kecil, "jelas saja dia cari saya. Sejak terakhir saya dari apartment Danish, saya nggak ada komunikasi lagi sama dia."
"Pak Alan!" seru Amanda, membuat bahuku sedikit terkedik.
"Apa sih, Manda? Bikin orang kaget saja!" timpalku sebal.
"Pak Alan masih berhubungan sama Mbak Danish?" desak Amanda ingin tahu.
"It's none of your business!" tampikku cepat.
"Terus Mbak Kyara?" tanya Amanda lagi tanpa mempedulikan bantahanku.
"Manda mending panggil Mang Asep untuk membelikan saya kopi!" aku mengibaskan tangan untuk menghalau sekretarisku pergi, "bilang Mang Asep untuk beli kopi buat Alan!"
Amanda masih terus mengekor di belakangku, "tapi, Pak..."
"Manda dengar apa yang barusan saya bilang, kan?" sergahku.
"Uangnya?" dia tertawa konyol, begitu menyebalkan.
"Astaga! Kamu nggak ada uang sama sekali?" tanyaku sebal, "perhitungan sekali kamu sama saya?"
Kemudian aku mengangsurkan tiga lembar uang berwarna merah kepada Amanda, "kembaliannya kasih ke saya!"
"Astaga! Pak Alan perhitungan sekali sama saya?" balas Amanda sambil berlalu.
Aku tertawa kecil melihat tingkah laku sekretarisku itu. Sudah terlalu lama dia bekerja pada perusahaan ini, jadi memang aku tidak pernah menganggap dia keterlaluan setiap kali dia bercanda denganku seperti yang baru saja terjadi.
"Pak?" panggil Amanda lagi.
"Manda nggak dengar apa saya bilang?"
"Ada Mbak Farra..." jawab Amanda sedikit berbisik.
"Suruh masuk, Manda... It's not personal."
***
Kami berada di dalam ruang rapat sekarang. Ada Papa yang baru saja datang karena ingin melihat presentasi yang dibawakan Farra dan ada beberapa staff lain dari tim penjualan. Aku duduk tepat di sebelah Papa, di sisi meja paling jauh dari layar monitor.
![](https://img.wattpad.com/cover/300387689-288-k792327.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Perempuan yang Aku Nikahi
RomansaSelain membutuhkan pasangan, menikah juga membutuhkan cinta. Namaku adalah Alan Chevalier Hartadi. Laki-laki dua puluh sembilan tahun dengan fisik yang tidak perlu diragukan lagi dan kekayaan yang begitu melimpah. Aku rasa, aku tidak memiliki kesuli...