Kami berdua baru saja sampai, hujan menyambut kedatangan kami di rumah. Derasnya air yang turun dari langit kali ini membuat aku sedikit merasa tidak nyaman. Ada desiran aneh dalam dadaku yang mendadak datang, seperti ada pasir yang meninggalkan jejak kasar di dalam sana.
Rasanya aku ingin sekali menghapus segala ketidaknyamanan yang begitu saja masuk ke dalam dadaku ini, tapi aku pun tidak tahu bagaimana menyelesaikannya. Seperti ada sebuah batu yang semakin membesar yang terus menghimpit dadaku, aku merasa ingin meledak.
Belum sampai aku memasukkan mobilku ke dalam garasi, aku sudah merasa tidak mampu untuk menginjak pedal gas. Segera aku menepikan mobil ke dekat pagar.
"Lan? Kamu kenapa?" Kyara menggoyang-goyangkan bahuku perlahan.
Hentakan kecil itu membuat aku begitu kaget, tanpa bisa aku kendalikan, aku merasa ada butiran keringat dingin mulai mengalir di pelipisku.
"Ada air, Ra?" tanyaku dengan nafas tersengal-sengal.
Buru-buru Kyara mengambil botol air mineral di pintu mobil dan memberikannya kepadaku. Aku meminum air dalam kemasan plastik itu seperti orang kesetanan. Beberapa bagian air justru tumpah membasahi kemejaku.
"What is wrong with you, Alan?" Kyara mulai panik.
"It's okay... It's okay..." aku mencoba menenangkan Kyara dan diriku sendiri dalam waktu bersamaan.
Kyara berusaha melonggarkan ikat pinggangku, membuka semua kancing kemeja yang aku pakai, dan mengusap pelipisku dengan selembar tisu. Mukanya tentu saja panik, dia tidak bisa menutupi itu dari aku.
"I am fine, Dear..." aku berusaha mengelus puncak kepalanya, kemudian tersenyum.
"You are not, Alan..." kata Kyara masih sibuk menyeka keringat di leherku, kali ini dengan punggung tangannya.
Aku meluruskan sandaran kursiku, berharap agar aku merasa lebih rileks. Kyara memutar badannya agak bisa berhadapam denganku.
"Kita lihat hujan dari dalam mobil dulu yuk!" ajakku.
"Kenapa nggak masuk dulu sih, Lan? Supaya kamu bisa istirahat..." sela Kyara tidak sabar.
"Ra?"
"Hm?"
"Apa sebaiknya aku batalkan saja perjalanan ke Surabaya besok, ya?"
"Kenapa?" kali ini tangan Kyara mulai menutup kancing kemejaku satu per satu, "dingin..."
Sengaja aku membiarkannya melakukan apa pun yang dia anggap baik untukku. Aku tentu tidak merasa keberatan jika jari-jari mungil itu menyentuh kulitku.
"Kamu yakin nggak apa-apa pergi sama Danish besok?"
"Aku boleh tanya satu hal nggak, Lan?" jari-jari Kyara memainkan kancing teratas dari kemeja yang aku pakai.
"Proceed," jawabku cepat.
"Kita bakal satu mobil sama Danish, ya?"
Aku berdehem, "eh... Itu sih bisa diatur, Ra..."
Tapi aku sudah berpikir untuk membawa dua mobil besok. Kamu denganku di sini dan Danish biar pakai mobil kantor sama supir," uraiku.
"Klien kamu?"
"Itu terserah dia. Mau di mobil ini atau di mobil kantor. Aku mau minta sama Benjamin supaya besok mobil kantor yang dibawa sama jenisnya dengan ini," jelasku.
Jari-jari Kyara tidak berhenti memainkan kancing kemejaku, aku sengaja membiarkannya. Tiba-tiba Kyara menatapku dalam-dalam, kemudian menyentuh pipiku dan mengelusnya. Aku memejamkan mata, menikmati setiap sentuhan yang dia berikan di permukaan kulit wajahku. Terasa sangat nyaman.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perempuan yang Aku Nikahi
RomanceSelain membutuhkan pasangan, menikah juga membutuhkan cinta. Namaku adalah Alan Chevalier Hartadi. Laki-laki dua puluh sembilan tahun dengan fisik yang tidak perlu diragukan lagi dan kekayaan yang begitu melimpah. Aku rasa, aku tidak memiliki kesuli...