Sudah satu bulan berlalu setelah aku bangun dari koma. Selama itu aku berusaha menerima kenyataan bahwa Kyara memang tidak pernah ada, bahwa aku hanyalah laki-laki lajang yang menjalani kehidupan seorang diri sekarang.
Sebagian pikiranku memang masih berada pada keyakinan bahwa Kyara adalah perempuan yang aku nikahi dan aku sangat yakin akan hal itu. Tapi kenyataan tidak berpihak padaku, aku tidak pernah menjumpainya selama aku bangun dari koma ini.
Hal-hal nyata lainnya yang harus aku hadapi adalah bahwa aku adalah seorang laki-laki lajang yang menjalankan bisnis bersama orang tuanya. Tidak seperti yang selama koma aku jalani, aku ternyata memiliki hubungan yang sangat baik dengan kedua orang tuaku, terlebih-lebih Papa. Bukan hanya memiliki hubungan yang sangat baik, bahkan aku sekarang adalah orang yang memegang kendali penuh atas semua dealer milik papaku.
Seperti pagi ini, setelah mengalami penyesuaian yang begitu berat di awal, aku siap menjalani hari-hariku seperti saat aku belum mengalami kecelakaan itu. Aku bersiap menuju tempatku bekerja.
Aku memandang refleksi diriku pada cermin di dalam dressing room. Kemeja slim fit polos berwarna broken white dan chinos pants berwarna navy sudah menempel di badanku sekarang. Sambil mencoba tersenyum, aku memandangi bayanganku sendiri di dalam cermin.
"What a pretty face, Alan!" celetukku sambil tertawa kecil.
Aku keluar dari dressing room dan menuju ke arah meja di dekat ranjang, tempat di mana aku biasa meletakkan koleksi parfumku. Mulai hari ini aku akan kembali kepada rutinitasku mengelola dealer, di satu sisi aku sudah bisa menyusun kepingan dari diriku yang sempat terserak berantakan.
Beberapa hari yang lalu, Mama bercerita tentang bagaimana caraku berpakaian. Ini lucu sebenarnya, aku bahkan lupa bagaimana berpenampilan sejak aku koma. Karena kehidupan yang aku jalani selama aku tidak sadarkan diri itu sangat berkebalikan dengan aku yang sekarang. Di alam bawah sadarku, aku hanya lah seorang pengangguran yang menyerahkan seluruhnya pada istriku, termasuk caraku berpakaian.
"I know that it will be hard for you to take, Alan... But, I am sure that you can beat it!" kataku dalam hati.
Aku menyemperotkan parfum pada leher dan pergelangan tanganku, merapikan rambutku dengan jari-jari, dan mengancingkan kemejaku. Aku siap berangkat!
Segera aku turun ke lantai satu saat aku melihat arloji digital di pergelangan kananku sudah menunjukkan jam enam lebih empat puluh sembilan menit. Sejak menyadari bahwa aku benar-benar hidup sendiri, aku memiliki kebiasaan baru sekarang: menyiapkan sarapan dan kopi untukku sendiri. Awalnya ini menjadi hal yang merepotkan untukku, tapi lama-lama aku menjadi semakin terbiasa.
Sesampainya aku di dapur, aku segera mengambil roti gandum dan butter tawar dari dalam kulkas. Memanggang roti gandum dengan butter itu dan kemudian memecah telur ayam di sebelahnya. Setelah roti dan telur aku anggap pas kematangannya, aku segera memindahkan keduanya ke atas piring dan menyeduh kopi hitam.
Telepon seluler yang aku simpan di saku celana berdering, ada satu panggilan masuk.
"Hm?" sahutku pendek.
"Lan, kamu di mana? Hari ini ke kantor, kan?Aku berangkat kerja bareng, ya?" suara Ethan terdengar dari seberang.
"Bukannya kantormu dan dealer letaknya sangat berjauhan, ya? Itu artinya harus aku memutar jalan," jawabku datar.
Ethan cekikikan, "aku mau hemat bensin."
Tanpa menunggu sahabatku itu banyak bicara, aku segera menekan tombol merah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perempuan yang Aku Nikahi
RomansaSelain membutuhkan pasangan, menikah juga membutuhkan cinta. Namaku adalah Alan Chevalier Hartadi. Laki-laki dua puluh sembilan tahun dengan fisik yang tidak perlu diragukan lagi dan kekayaan yang begitu melimpah. Aku rasa, aku tidak memiliki kesuli...