Bagian 40: Everybody's Changing

508 36 2
                                    

Jam delapan lebih lima puluh menit. Aku masih berada di dalam apartment Danish, menatap siaran televisi di depanku dengan pikiran kosong. Tidak ada hal lain yang membuat aku termenung selain pertemuanku dengan Kyara di dalam elevator tadi. Aku mengutuk pertemuan itu tadi, kenapa aku bertemu dengan dia ketika aku sudah membulatkan tekad untuk membuang Kyara jauh-jauh dari hidupku? Susah payah aku menahan diri agar tidak merindukan perempuan itu, tapi keadaan selalu berhasil mengacaukan semuanya. Tidak benar jika aku melawan takdir memang, tapi bertemu Kyara saat aku sudah mulai bisa berdamai dengan rindu adalah hal yang sangat menyakitkan.

"Mas?" sebuah sentuhan ringan kurasakan di atas kulit lenganku.

Aku memalingkan muka, "ya, Nish?"

"Kok melamun? Ada apa?" Danish menatapku penuh tanda tanya.

"Nggak ada apa-apa," aku berkilah, "kamu punya beer dingin?"

"Nggak ada lah, Mas... Kamu tahu sendiri aku nggak suka beer. Kenapa?" Danish mengelus pahaku berkali-kali.

Kulihat perempuan yang sedang duduk di sebelahku ini. Kulit putihnya yang hanya terbalut dress rumahan berbahan satin itu terlihat begitu menggiurkan. Di saat ini lah aku sadar kenapa aku bisa tertarik kepada Danish. Dia cantik, kulitnya putih bersih, rambutnya panjang, hidungnya mungil, dan bibirnya merah jambu. Sebagai laki-laki normal, tentu saja perempuan seperti Danish ini tidak mungkin tidak membuatku tertarik.

"Aku pergi beli beer dulu, ya?" aku mencoba menghalau pikiran nakalku sendiri.

"Okay," sahut Danish kemudian mengalihkan pandangannya ke layar televisi.

Aku segera berjalan keluar dari apartment milik Danish. Ketika baru saja aku menutup pintu, tampak Kyara juga baru saja keluar dari apartment milik temannya. Jaraknya tidak begitu jauh dari tempat Danish tinggal, hanya berbeda tiga unit saja.

Kyara tersenyum canggung ketika pada akhirnya kami bertemu di tengah-tengah koridor, tepat di depan pintu elevator. Aku membalas senyumnya dengan senyum yang juga seadanya.

"Sudah mau pulang?" aku berbasa-basi.

"Iya, Lan... Sudah malam," Kyara melihat ke arah jam tangan yang dipakainya, "kamu juga sudah mau pulang?"

Aku menggeleng, "aku mau beli beer dingin dulu di depan."

"Oh!"

Kemudian kami melalui dua menit penuh keheningan di dalam kabin elevator. Sialnya, lagi-lagi tidak ada orang lain di dalam elevator ini selain Kyara dan aku. Kami berdua berdiri berjajar dan hanya diam menghadap pintu elevator. Aku benci suasana seperti ini, seperti kuburan di malam hari. Begitu tenang dan menakutkan.

"Ra?" aku memberanikan diri untuk menyapanya.

"Ya, Lan?" jawab Kyara tanpa melihat ke arahku.

"Are you seeing someone lately?" kupandang Kyara dari refleksi yang ada di pintu stainless elevator.

"Sort of..." jawab Kyara cepat.

Hatiku mencelos, "siapa, Ra?" ragu aku bertanya.

"Ethan. Dia jadi sering ke kafe sebulan ini. He is so nice and very funny!" jawab Kyara dengan tawa lebar dan wajah yang berseri-seri.

"Are you two dating?" aku menantang diriku sendiri, padahal aku sungguh tidak siap dengan jawaban dari pertanyaanku ini.

"Ethan juga bertanya hal yang sama sebelumnya, Lan..."

"Soal apa?" potongku cepat.

"Soal apakah kita berdua berkencan."

"Kamu bilang apa, Ra?" aku terus mengejarnya dengan pertanyaan.

Perempuan yang Aku NikahiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang