Mataku menyipit ketika kurasakan ada benda hangat dan sedikit lembab menempel di keningku. Aku mengerjapkan mataku berkali-kali untuk memastikan benda apa yang menempel padaku ini.
"Sudah bangun, Lan? Gimana? Sudah enakan badannya?" tiba-tiba suara Kyara membuyarkan kegiatanku menebak-nebak benda apa yang ada di keningku ini.
Dengan cekatan, Kyara mengambil benda hangat dan lembab di keningku itu dan memindahkannya ke dalam wadah yang terletak di atas meja di samping ranjangku. Aku mengusap keningku yang terasa basah dan tidak nyaman.
"Makan ya, Lan? Aku sudah bikin bubur buat kamu," kata Kyara sambil mengusap keningku dengan punggung tangannya, "aku bawakan buburnya ke sini."
Tanpa menunggu jawaban dariku, Kyara segera beranjak dari ranjangku dan berjalan menuju ke pintu.
"Ra, boleh telurnya setengah matang saja?"
Kyara mengacungkan ibu jarinya sambil tersenyum ketika hendak menutup pintu kamar. Aku membalas senyumnya dengan tawa lebar.
Tiba-tiba hand phone-ku berdering, menandakan ada satu panggilan masuk.
Farrania Renzi Aurum
Ternyata panggilan masuk dari Farra. Tumben sekali dia sampai menelepon ketika aku berada di rumah. Beberapa minggu belakangan memang aku melarang Farra untuk meneleponku ketika aku sedang berada di rumah. Entah mengapa, aku ingin menjaga perasaan istriku.
"Ya, Sayang?" jawabku setelah aku menekan tombol hijau di layar hand phone-ku.
"Sayang, makan siang sama aku mau?" suaranya terdengar manja sekali di seberang sana.
Aku bangkit dari tempat tidur dan berjalan ke arah jendela, "di mana, Sayang?"
"Terserah kamu saja... Aku lagi ingin makan pecel lele, Sayang," kemudian Farra terkekeh-kekeh.
"Iya. Boleh. Kita ke warung lalapan langganan kamu nanti siang, ya? Aku jemput kamu jam satu. Oke?" aku menyetujui ajakan Farra dan menutup telepon.
Pintu kamar terbuka perlahan. Kyara masuk sambil membawa sebuah nampan berisikan semangkuk bubur yang masih berasap tipis, aromanya sungguh nikmat sekali.
"Lho? Kok sudah berdiri, Lan? Kamu nggak apa-apa?" cecar Kyara sambil meletakkan nampan di tepi ranjangku.
"Demamnya sudah lumayan turun kok, Ra..." aku menyentuh keningku," tapi sakit di kepala masih sedikit berasa."
"Makan dulu. Aku ambilkan pereda nyeri di bawah, ya?" lagi-lagi Kyara beranjak keluar kamar tanpa menunggu jawaban dari aku.
Aku memilih untuk keluar kamar dan mengikutinya menuju lantai bawah. Tak lupa aku bawa nampan berisi semangkuk bubur buatan Kyara tadi.
"Ra, makan bareng yuk!" ajakku.
Kyara tersenyum tipis, "boleh, Lan... Aku ambil mangkuk dulu, ya?"
Sejujurnya, aku agak kaget dengan reaksi Kyara kali ini. Tidak biasanya dia langsung menerima ajakanku untuk makan dengan mudah seperti ini.
"Biar aku yang ambilkan untuk kamu," kataku sambil mencegahnya mengambil mangkuk.
Aku berdiri dari kursi dan berjalan menuju salah satu rak untuk mengambil mangkuk, tapi tiba-tiba kepalaku terasa sangat pusing hingga pandanganku berputar. Aku tidak mampu menguasai diriku, sampai pada akhirnya aku jatuh.
***
Kepalaku masih terasa sedikit sakit dan berdenyut ketika aku membuka mata. Aku menyadari diriku sekarang sudah berada di atas kasur empukku, padahal terakhir kali aku ingat bahwa aku sedang mengambilkan mangkuk untuk Kyara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perempuan yang Aku Nikahi
RomanceSelain membutuhkan pasangan, menikah juga membutuhkan cinta. Namaku adalah Alan Chevalier Hartadi. Laki-laki dua puluh sembilan tahun dengan fisik yang tidak perlu diragukan lagi dan kekayaan yang begitu melimpah. Aku rasa, aku tidak memiliki kesuli...