Bagian 27: If It's Meant to Be, It Will Be

939 76 4
                                    

Setelah jam kerjaku berakhir, aku lebih memilih untuk berada di dalam ruanganku cukup lama. Amanda, sekretarisku, baru saja meninggalkan mejanya beberapa menit yang lalu, itu juga setelah aku menyuruhnya untuk pulang. Dia menyampaikan bahwa dia tidak akan meninggalkan kantor kalau aku belum meninggalkan kantor, sementara aku tidak tahu kapan aku ingin pulang.

Aku meraih telepon selulerku di atas meja, mencari nomor Ethan dan menghubunginya. Ethan pasti punya waktu luang yang sangat banyak kalau aku mengajaknya minum kopi atau bersantai sambil meneguk beer langsung dari botolnya.

"Mau ke mana?" tembaknya langsung begitu panggilanku tersambung.

"Starbucks?"

"Okay. You drive!" jawabnya cepat.

Aku menutup sambungan telepon itu dan segera berjalan keluar dari ruang kerjaku. Masih banyak karyawan yang berada di dalam kantor ini begitu aku keluar ruangan. Rata-rata dari mereka adalah tim penjualan. Aku bisa maklum kalau mereka tidak segera pulang, karena target penjualan yang diberikan perusahaan memang cukup membuat pusing, apalagi ini sudah mendekati akhir bulan.

Tadi pagi aku sudah melihat laporan penjualan yang diletakkan Amanda di mejaku. Aku juga sempat mempelajarinya, ada kenaikan yang cukup lumayan dalam grafik penjualan mobil-mobil subsidi. Walaupun itu tidak mendongkrak pendapat perusahaan di angka yang fantastis, tapi menurutku itu sudah sebuah kemajuan.

Aku melangkah ringan menuju keluar dealer. Beberapa karyawanku bergantian menyapa, aku membalas mereka dengan senyum. Ada perasaan lega karena aku bisa kembali menjalani ini semua, semua yang aku jalani selama masa koma tentu sangat menyenangkan, tapi aku telah membangun diriku untuk menjadi seorang pekerja keras. Bagiku, martabat seorang laki-laki dilihat dari bagaimana kerja kerasnya, tidak peduli apa jenis profesi yang digelutinya.

"Selamat malam, Pak... Sudah mau pulang?" sapa sekuriti di depan pintu.

Aku tersenyum, "iya, Pak... Sudah lapar," jawabku.

"Hati-hati di jalan, Pak..." balasnya sopan.

Setelah membalas keramahan yang diberikan oleh orang yang mempunyai peran besar untuk menjaga keamanan dealer ini, aku segera menuju mobil yang aku parkir di halaman depan.  Aku mengamati SUV hitamku itu, mobil ini bermerek dan berjenis sama dengan mobil yang aku pakai saat aku mengalami kecelakaan. Papa dan Mama sempat bertanya apakah tidak sebaiknya aku berganti jenis mobil saja untuk menghindari trauma, tapi aku berusaha berdamai dengan kejadian itu dan lebih memilih mobil yang sama dengan sebelumnya.

Mobilku melaju dengan kecepatan sedang, bersahabat dengan macetnya jalanan di sore hari. Rupanya aku salah memilih jam pulang. Aku memilih keluar kantor ketika ribuan pejuang Rupiah juga bersama-sama keluar dari tempat kerja mereka. Untungnya aku sedang tidak terburu-buru.

Ketika arloji di pergelangan tangan kananku menunjukkan jam enam lebih dua puluh tiga menit, aku baru sampai di depan kantor Ethan. Kantornya berada di sebuah ruko yang cukup padat, ukurannya cukup besar kalau hanya untuk perusahaan percetakan dan periklanan. Tapi aku tahu mengapa Ethan membuat kantornya sedemikian besar dan cukup menarik.

Aku memarkirkan mobilku di sebelah motor-motor milik karyawan kantor Ethan. Seorang juru parkir membantuku dan kemudian menghilang. Setelah memastikan bahwa pintu mobilku telah terkunci, dengan sedikit berlari aku masuk ke kantor Ethan.

"Selamat sore, Pak..." sapa petugas resepsionis di meja depan, "ada yang bisa saya bantu?"

"Ethan ada, Mbak?" balasku sambil menunjuk ke lantai atas, karena seingatku ruang kerja Ethan ada di lantai dua.

"Oh... Cari Pak Ethan, ya? Sebentar, Pak... Saya hubungkan. Dengan Bapak siapa, ya?"

"Alan," jawabku sambil tersenyum.

Perempuan yang Aku NikahiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang