Lagi-lagi aku tidur dengan pemandangan punggung Kyara. Lama-lama aku menjadi biasa dengan apa yang Kyara berikan padaku setiap malam. Aku tidak pernah merasa keberatan dengan hal ini sebenarnya, karena punggung perempuan itu pun ternyata mampu membuat aku terus berfantasi liar.
Di tengah asyiknya aku membayangkan banyak hal tentang Kyara di kepalaku, tiba-tiba objek fantasiku itu berbalik. Aku nyaris melompat dari tempat tidur dibuatnya.
"Lan..." panggil Kyara sambil meringis, seperti menahan sakit.
"Eh? Kamu kenapa, Ra?" aku menjadi cemas melihat wajah Kyara yang terlihat tidak baik-baik saja.
"Bisa minta tolong diambilkan air? Tenggorokanku tiba-tiba terasa sakit..." pinta Kyara sambil mengelus lehernya.
"Okay. Kamu tunggu, ya?" kataku dan bangkit dari tempat tidur.
Begitu sampai di dapur, aku segera mencari gelas dan mengisinya dengan air dari dispenser. Sempat aku melihat ke luar jendela, hujan sedang mengguyur dengan derasnya membuat udara terasa lebih dingin dari biasanya.
Setelah air dalam gelas terisi penuh, aku berjalan kembali ke lantai dua.
"Ra?" panggilku.
Aku memasuki kamar, kulihat Kyara sedang duduk di atas ranjang yang paling dekat dengan jendela. Jendela kamar ini berukuran sangat luas. Aku sengaja memberi jendela yang luas di kamar dengan tujuan agar aku bisa menikmati langit malam sebelum tidur. Rupanya Kyara juga menjadi salah satu penikmat jendela ini, sekarang dia sedang asyik menikmati hujan tengah malam.
Jendelanya terletak persis di depan kasur. Kalau pagi datang, memang akan membuat mata silau karena cahaya matahari langsung masuk ke dalam kamar. Tapi kalau malam datang dan cuaca sedang cerah, maka akan bisa melihat gugusan bintang yang tersusun rapi di angkasa. Sangat memanjakan mata!
"Ini airnya, Ra..." gelas berisi air itu sudah berpindah ke tangan Kyara, "kamu demam?" aku meraba kening Kyara.
"Nggak. Aku cuma merasa tenggorokanku nggak nyaman saja, Lan..."
"Mau dipijit?"
"Nggak lah..." Kyara menggeleng, "kamu nggak suka hujan?"
Aku menatap keluar jendela, melihat apa yang dari tadi Kyara lihat. Air yang turun dari langit itu memang terlihat begitu mempesona. Seperti tidak berkedip, Kyara seakan tersihir oleh butiran air hujan itu.
"Sejak kapan kamu suka hujan?" aku bertanya sambil merebahkan tubuhku di samping Kyara.
"Sejak nggak tau, Lan..." kemudian Kyara tertawa sendiri, "Lan, Bang Kevan cerita apa saja sama kamu?"
"Nggak ada," jawabku sambil memeluk guling.
"Come on!" kali ini Kyara merebahkan tubuhnya di sampingku.
"Kamu sejak kapan naksir aku?" godaku sambil menatapnya.
Kyara menghela nafas, "pasti itu yang diceritakan oleh Bang Kevan, ya?"
"Kind of," aku tertawa kecil, "tapi memang aku penasaran, sejak kapan kamu suka sama aku?" aku berbalik memandang wajah Kyara di sampingku.
"Sejak lama, Lan..." Kyara menatap langit-langit kamar, "sebenarnya aku lupa sejak kapan..."
Tatapan mataku tidak beralih dari wajah Kyara yang terlihat sangat cantik dari samping. Kadang aku tidak mengerti kenapa aku tidak langsung jatuh cinta padanya sejak pandangan pertama.
"Mau main hujan di kolam renang, Ra?" ajakku sambil menepuk pelan lengannya.
Bola mata Kyara membulat, ada sepercik antusias di dalamnya. Aku sangat suka melihat manik mata kesayanganku itu terlihat begitu hidup.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perempuan yang Aku Nikahi
RomanceSelain membutuhkan pasangan, menikah juga membutuhkan cinta. Namaku adalah Alan Chevalier Hartadi. Laki-laki dua puluh sembilan tahun dengan fisik yang tidak perlu diragukan lagi dan kekayaan yang begitu melimpah. Aku rasa, aku tidak memiliki kesuli...