Aku memandang tubuhnya yang hanya setengah terbalut selimut itu pergi menjauh dari ranjang. Kuamati langkahnya yang tidak terlalu tergesa-gesa, namun pasti pergi semakin menjauh dari jangkauanku. Aku memang tidak berusaha memanggilnya untuk kembali ke dalam pelukanku setiap kali kami selesai bercinta. Dia pun tidak pernah memintaku untuk memeluknya sampai tertidur atau bermanja-manja bersamaku di dalam selimut yang sama. Dia selalu seperti itu, menutup tubuhnya dengan selimut dari ranjangku, pergi ke kamar mandi, mengembalikan selimutku setelah mengenakan baju tidur berbahan sutra kesukaannya. Itu semua dia lakukan tanpa banyak bicara, hanya sebuah senyuman yang dia berikan padaku ketika mengembalikan selimutku dalam keadaan bersih dan baru dicuci. Setelah itu dia akan pergi keluar kamar dan kembali ke dalam kamar kami sambil membawakan aku segelas air putih dan secangkir kopi panas.
"Lapar?" tanyanya sambil tersenyum tipis.
Aku menatapnya sekilas, karena mataku lebih sibuk dengan telepon pintar di dalam genggamanku. Aku sedang asyik membalas pesan masuk dari Farra.
"Nggak," jawabku cepat.
Kemudian tak kulihat lagi dia berdiri di dekat ranjangku. Rupanya dia sudah beranjak keluar kamar sambil menutup pintu dengan perlahan. Aku pikir dia akan marah melihat reaksiku, tapi sejak kapan Kyara bisa marah terhadap suaminya yang sudah memberinya nafkah lahir dan batin dengan sangat baik ini?
Tiga puluh menit aku berbalas pesan dengan Farra, perempuan dengan kulit bening dan rambut tebal ini sering sekali membuat duniaku nyaris runtuh. Pesonanya begitu susah untuk aku lepaskan, seperti menempel dengan kuat di dalam rongga kepalaku. Aku begitu ketagihan dengannya, seperti candu.
Aku mendengar perutku sedikit berisik sekarang. Tampaknya Kyara benar, aku membutuhkan makan. Bercinta dengannya sungguh menghabiskan sebagian besar energiku, istriku itu selalu pandai melayani aku di ranjang. Setelah kurapikan rambut dan berganti pakaian, aku memutuskan untuk keluar kamar dan menuju ruang makan.
Sesampainya di ruang makan, tak kulihat kehadiran istriku di sana. Dapur dalam keadaan sangat bersih bagai tidak pernah tersentuh sama sekali. Aku menghela nafas kesal.
"Ra!" seruku agak kasar.
"Ya?" sahutnya dari arah ruang baca yang kemudian menjadi ruang kerjanya juga, "aku tadi masakin kamu dada ayam kukus, telur rebus matang, sayur bayam, sama sambal," urainya sambil terus menatap berlembar-lembar kertas dan kalkulator secara bergantian, tanpa berpaling padaku.
Aku menatap punggungnya yang setengah terbuka karena bajunya memang berpotongan begitu. Anak-anak rambut di lehernya begitu menggoda. Pemandangan favoritku melihat perempuan itu mengikat habis seluruh rambutnya ke bagian atas kepalanya.
"Oh iya, Lan..." sambungnya sambil berbalik ke arahku.
"Ya, Ra? Kenapa? Ada apa?" aku gelagapan karena aku tengah asyik menatap punggungnya.
"Nasi merah ada di penanak yang warna putih, ya?" Kyara menunjuk ke arah penanak nasi di dapur.
Kemudian berbalik lagi dan kembali asyik dengan rutinitasnya setiap petang. Aku sangat paham dengan apa yang dia lakukan, tapi aku tidak pernah sedikit pun peduli pada setiap kegiatannya.
"Ra?" panggilku sambil menyendok nasi ke dalam mulut.
Kyara datang dengan sedikit tergopoh-gopoh, "ya, Lan? Ada yang bisa aku bantu untukmu?"
"Selalu saja begitu! Kenapa dia nggak pernah menunjukkan sedikit saja rasa kesal kepadaku?" gerutuku dalam hati.
"Nasinya mau nambah?" tanyanya lagi.
Aku menghela nafas pelan, "kamu nggak mau makan sama aku?"
Kyara tersenyum, "aku belum selesai menghitung pemasukan dan pengeluaran kafeku, Lan... Aku makan nanti saja setelah kamu selesai dan setelah kerjaanku selesai," kemudian berlalu kembali ke meja kerjanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perempuan yang Aku Nikahi
RomanceSelain membutuhkan pasangan, menikah juga membutuhkan cinta. Namaku adalah Alan Chevalier Hartadi. Laki-laki dua puluh sembilan tahun dengan fisik yang tidak perlu diragukan lagi dan kekayaan yang begitu melimpah. Aku rasa, aku tidak memiliki kesuli...