Bagian 3: Perjanjian Pernikahan

1.5K 119 1
                                    

Malam ini aku melihat Kyara masih asyik dengan lembaran kertas, komputer lipat, dan hand phone-nya. Jarum jam telah menunjukkan pukul setengah sebelas malam. Tapi tak kulihat sedikit pun Kyara beranjak dari tempatnya setelah kami selesai makan malam tadi.

Aku sangat penasaran dengan apa yang dia lakukan di sana. Sudah hampir dua jam lebih Kyara terus diam tanpa berbicara sedikit pun denganku.

"Ra!" akhirnya aku memberanikan diri untuk memanggilnya.

"Ya, Lan?" sahut Kyara tanpa menoleh ke arahku.

Aku menjadi jengkel pada akhirnya, karena perempuan itu masih saja betah di tempat duduknya tanpa beranjak sama sekali.

"KYARA!" panggilku lagi lebih keras.

Kulihat pada akhirnya Kyara berdiri dari tempat duduknya dan berjalan ke arahku. Rambut panjangnya terurai jatuh menutupi punggung, Kyara terlihat sangat manis malam ini.

"Ada apa, Lan?" Kyara berdiri di dekat sofa yang aku duduki.

"Kamu sibuk banget, ya? Sampai aku harus memanggil kamu berulang kali?" aku meliriknya tajam.

"Besok sudah tanggal satu, Lan... Aku sedang menyusun time sheet anak-anak kafe, supaya besok mereka bisa menerima gaji tepat waktu. Kamu butuh apa? Kopi?"

Aku berdiri mendekati Kyara, "aku butuh kamu ngobrol sama aku. Di sini. Sekarang," tunjukku ke arah sofa.

"Nggak bisa, Lan..."

Aku menarik tangan Kyara, sehingga dia terpaksa duduk di sisiku, "kalau aku bilang duduk, ya duduk. Bagian mana yang kamu nggak mengerti?"

Kyara berusaha menjauhkan posisi duduknya dariku. Dengan cepat, aku segera menggeser posisi dudukku untuk mendekat padanya.

"Kamu kenapa sih, Lan?" tangannya menekan dadaku, berusaha untuk membuat aku tidak lagi semakin mendekat ke arahnya.

Tanpa banyak pertimbangan, aku segera menggenggam tangan Kyara yang menempel di dadaku itu. Tentu saja istriku itu dengan cepat berusaha melepaskan tangannya dari genggamanku.

"Ra, aku ini suami kamu lho... Masa kamu nggak kasih ijin aku untuk memegang tangan kamu?" aku menatap Kyara sambil tersenyum nakal.

Spontan, Kyara beranjak berdiri. Tapi tentu saja posisi kami membuat aku justru lebih gampang untuk menariknya kembali duduk, kali ini di pangkuanku.

"Lan, aku masih punya banyak kerjaan. Ini sudah malam, besok aku harus bangun pagi-pagi sekali untuk menyiapkan keperluan kamu dan membereskan rumah," Kyara terus berusaha bangkit dari pangkuanku.

Dengan cepat aku melingkarkan tanganku di pinggangnya agar dia tidak bisa pergi ke mana-mana, kemudian memainkan rambut panjangnya. Kali ini mataku ingin menikmati setiap jengkal dari tubuh perempuan ini. Kyara tidak bisa dikatakan sebagai perempuan yang jelek, bahkan dia adalah seorang perempuan yang cantik. Rambutnya yang panjang, kulit sawo matangnya yang bersih, hidungnya yang mancung, matanya yang berbinar, dan bibir penuhnya yang menjadi favoritku. Kadang, aku merasa bahwa aku jatuh cinta dengan perempuan ini.

"Besok nggak usah masak. Kita makan di kafe kamu. Kamu berangkat ke kafe jam berapa?"

"Lan..." suara Kyara terdengar parau.

"Ya?" aku menatapnya dengan lembut.

"Bukannya kamu bilang kalau kita sebaiknya nggak usah terlihat terlalu sering bersama kalau lagi di luar rumah, ya?" tanya Kyara dengan kikuk dan terus berusaha bangkit dari pangkuanku.

"Kamu malu punya suami kayak aku?" sekali lagi aku menatap Kyara dengan senyum nakal.

Kyara menggigit bibir bawahnya, "anak-anak nggak tahu kalau aku sudah menikah, Lan. Aku... Aku nggak mau kalau mereka sampai tahu bahwa aku sudah punya suami."

Perempuan yang Aku NikahiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang