"Sayaaannnggg..." suara manja Danish kembali hadir di dalam ruang kerjaku.
Aku terpaksa mengalihkan pandangan ke arah pintu, tempat di mana suara itu berasal. Dengan segera aku mematikan layar komputerku dan beranjak untuk menemui Danish.
"Ada apa, Dear? Tumben sekali kamu datang ke kantorku?" tanyaku dengan seulas senyum yang aku paksakan.
Danish mendengus kesal, "kamu kenapa sekarang seperti nggak suka kalau aku datang ke kantor kamu sih?"
"Bukan begitu, Nish..." kilahku, "kamu tahu sendiri bahwa aku masih dalam masa transisi. Tiga bulan nggak sadar tentu membuat aku butuh waktu untuk menyesuaikan diri lagi, kan?"
Perempuan dengan celana jeans dan blouse putih ini terlihat tidak puas dengan penjelasanku. Aku tidak tahu bagaimana aku dulu memperlakukannya, tapi saat ini aku benar-benar sedang tidak ingin memiliki urusan dengannya. Bahkan, aku sangat ingin menghindarinya.
"Butuh waktu berapa lama supaya kamu bisa kembali lagi kayak dulu?" tanyanya dengan nada tinggi.
Aku mengangkat bahu, "aku juga belum tahu, Nish... Cuma yang pasti, aku hanya ingin menikmati hidupku yang sekarang," aku mencoba berkilah.
"Sebelum kecelakaan itu terjadi, kamu pernah bilang bahwa kita memang nggak akan punya hubungan lebih dari ini. Tapi setelah peristiwa itu terjadi, kamu justru semakin menjauh dari aku, Mas..." Danish mulai terisak.
Aku berjalan mendekatinya, berusaha membuat urusan dengan perempuan ini tidak berjalan semakin rumit. Kalau dikatakan bahwa aku sama sekali tidak tertarik pada Danish, tentu saja itu salah. Siapa laki-laki yang tidak akan tertarik pda perempuan dengan badan mungil tapi berisi dan rambut panjang bergelombang seperti dia? Tentu saja aku sangat tertarik padanya, tapi aku tidak ingin kembali melemparkan diriku dalam situasi sulit. Berdasarkan cerita yang kudengar dari Papa, Mama, dan Ethan, sepertinya aku memang tidak ingin memiliki hubungan serius dengan Danish ini. Apalagi aku mengetahui bahwa Papa tidak menyukainya, jadi aku rasa sebaiknya aku menjaga jarak dengannya.
"Nggak kayak gitu..." aku kehabisan kata-kata, "tapi apa yang kamu harapkan dari laki-laki kayak aku?"
"Banyak, Mas! Bahkan aku rela menjadi perempuan yang hanya kamu datangi ketika kamu sedang ingin melampiaskan nafsumu!"
Untuk beberapa detik, tentu saja aku kaget mendengar kalimat Danish tadi. Aku sudah mendengar cerita tentang hubungan Danish dan aku dari Ethan, tapi ketika mendengar hal itu keluar dari mulut Danish sendiri, aku tetap saja merasa kaget. Apa seburuk itu kelakuanku?
"Sudah saatnya kamu melepaskan aku, Dear..." aku meraih tangannya.
Air mata jatuh menganak sungai membasahi kedua pipi Danish yang tersapu blush on merah muda. Aku berusaha menyeka air mata itu dengan ibu jariku, tapi Danish segera menepisnya dengan tidak ramah.
"Aku nggak akan pernah mau pergi dari hidupmu, Mas!" kemudian Danish pergi keluar ruanganku.
Aku hanya bisa memandangi pintu ruanganku yang baru saja terbanting dengan keras. Di luar sana, pasti Amanda akan bertanya-tanya tentang apa yang terjadi.
"Pak?" panggilnya, tepat sesuai dugaanku.
"Ya?" jawabku santai.
"Bapak nggak apa-apa?"
Aku tertawa kecil, "kenapa saya harus kenapa-kenapa, Manda?"
"Kenapa Bapak sama Mbak Danish kok kayaknya nggak bisa baik-baik seperti dulu?" selidik Amanda hati-hati.
"Memangnya dulu kami selalu baik-baik saja, ya?"
Tanpa aku minta, Amanda segera masuk ke dalam ruanganku. Mengambil tempat duduk di sofa tanpa aku persilakan dan menatapku dalam-dalam. Aku menjadi sedikit canggung dengan keberadaan sekretarisku ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perempuan yang Aku Nikahi
RomanceSelain membutuhkan pasangan, menikah juga membutuhkan cinta. Namaku adalah Alan Chevalier Hartadi. Laki-laki dua puluh sembilan tahun dengan fisik yang tidak perlu diragukan lagi dan kekayaan yang begitu melimpah. Aku rasa, aku tidak memiliki kesuli...