Nasi goreng di atas piringku sudah tidak lagi bersisa, aku meneguk air putih cepat-cepat untuk melegakan tenggorokan dan membuat perasaanku lebih dingin. Bukan karena hawa panas yang berasal dari luar, tapi aku merasa gerah. Gerah dengan keadaan yang sekarang sedang terjadi dengan diriku. Rasanya bukan hal yang pintar jika aku merutuki diriku sendiri sekarang. Karena aku sendiri yang dengan sadar meng-iya-kan ajakan Danish untuk makan siang.
Kemudian, di sini lah kami berdua. Menghabiskan satu porsi makanan masing-masing di dalam sebuah kafe mungil yang terletak tidak jauh dari dealer Papa tadi.
"Apa kabar, Mas?" tanya Danish sambil menatapku lekat-lekat.
Aku mencoba tersenyum, "baik, Nish... Kamu sendiri apa kabar?"
Danish meneguk jus jeruk di depannya kemudian tersenyum dan berusaha meraih tanganku di atas meja. Alih-alih menghindari genggaman tangan Danish, aku justru membalas genggaman tangannya lebih erat.
"I miss you," kataku sambil memandang kedua manik mata coklatnya yang khas.
Danish tersenyum, lesung pipinya tampak dengan sangat jelas, membuat wajah ayunya semakin mempesona. Dia begitu sempurna untuk aku, selalu berhasil membuat aku bersedia memberikan hatiku dengan cuma-cuma untuknya. Aku tidak pernah melihat ada satu kekurangan apa pun pada diri Danish.
"Aku minta maaf untuk meninggalkan kamu..." kataku lirih, aku tidak sanggup memandang wajahnya.
Danish melepaskan genggaman tangannya, kemudian kembali menatapku untuk kesekian kalinya, "itu tadi istri kamu, Mas?"
Aku mengangguk, "iya. Namanya Kyara."
***
Aroma lezat tercium dari dalam rumah ketika aku baru saja turun dari mobil. Aku membuka pintu yang menghubungkan garasi dan rumah perlahan-lahan. Tentu saja aku tidak mungkin berharap bahwa Kyara tidak ada di rumah, sementara aroma sedap masakannya sudah menyapa hidungku saat ini.
Jangan ditanya bagaimana rasanya hari ini untukku, yang pasti perasaanku sangat bahagia. Bertemu dengan perempuan yang sudah berapa lama aku rindukan, perempuan yang tidak ternyata tidak pernah pergi dari kepala dan dadaku.
Apakah aku tidak memikirkan Kyara? Tentu saja aku memikirkannya, bagaimana pun juga dia adalah istriku. Perempuan yang selama ini selalu berada di sisiku, memberiku apa yang aku butuhkan, apa yang aku inginkan. Seseorang yang secara tidak sadar telah membuat aku menggantungkan sebagian besar hidupku padanya.
Aku berjalan menuju ruang makan. Seharusnya Kyara ada di sana, pikirku. Aku melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kananku. Sudah menunjukkan jam tujuh lebih tiga puluh enam menit, sudah waktunya makan malam. Tapi aku menjadi sedikit gelisah ketika aku tidak mendapati Kyara di ruang makan.
"Ra?" panggilku.
Sama sekali tidak ada jawaban. Tanpa berpikir panjang, aku segera menuju ruang kerja Kyara.
Sampai di sana, aku terhenyak mendapati meja Kyara yang begitu rapi. Komputer lipat miliknya juga tertutup rapat, tidak ada lembaran kertas yang berserakan di mejanya. Meja itu begitu bersih, tidak seperti meja Kyara biasanya.
Ini bukan keadaan yang aku inginkan, ini keadaan yang sudah aku prediksi tapi tidak pernah siap untuk aku hadapi. Seharusnya aku sudah lebih dewasa untuk mengatasi hal semacam ini. Kalau Kyara pergi dari rumah karena ulahku, seharusnya aku mampu mengatasi kepanikanku.
Terburu-buru aku menuju kamar, berharap bahwa Kyara di dalam sana. Aku menaiki anak tangga dengan tergesa-gesa dengan harapan penuh bahwa perempuan itu sedang tidur di atas kasurku, seperti yang sudah aku harapkan sebelumnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perempuan yang Aku Nikahi
Storie d'amoreSelain membutuhkan pasangan, menikah juga membutuhkan cinta. Namaku adalah Alan Chevalier Hartadi. Laki-laki dua puluh sembilan tahun dengan fisik yang tidak perlu diragukan lagi dan kekayaan yang begitu melimpah. Aku rasa, aku tidak memiliki kesuli...