Aku masih memandang lekat kepada Kyara meskipun dia terus berusaha menghindari tatapanku. Tanganku sudah tidak lagi melingkar di pinggangnya sekalipun kami masih sangat berdekatan. Aku memejamkan mata, berusaha menghalau sesak yang ternyata tidak mau meninggalkan rongga dadaku. Tidak banyak yang bisa aku katakan kepada Kyara sekarang, setelah aku mengakui bahwa aku merasa cemburu pada Ethan. Ini tidak adil bagiku, ketika aku ingin mengisi hidup Kyara, dia memintaku untuk memberinya waktu, tapi ketika aku memberinya waktu, dia justru membuka hatinya untuk Ethan.
"It is unfair, Ra..." kataku lemah.
"Untuk siapa?" Kyara masih tidak mau memandangku.
Aku menjauhinya, "untuk aku."
Menyadari bahwa kami sudah tidak lagi berdekatan, Kyara akhirnya berani memandangku. Aku berjalan menuju sofa di ruang tengah. Kurebahkan tubuhku di atasnya.
"Lan?" panggil Kyara sambil beranjak ke pintu keluar.
"Ya?" sengaja aku tidak melihat kepadanya.
"Tolong antar aku pulang..."
"Sebenarnya apa tujuan kamu datang ke sini, Ra?" kupandang Kyara enggan.
Kyara berjalan kembali menuju ke arah aku duduk. Sebentar saja, dia sudah sampai di dekatku. Tepat berada di kakiku yang terjulur ke lantai. Kyara terus memandangi kakiku, mencoba mencari pengalihan perhatian dari aku yang masih menatapnya, menunggu jawabannya.
"Apa kakiku lebih menarik dari wajahku, Ra?" sambungku.
"Jempol kaki kamu besar sekali," celetuk Kyara, seperti tidak mendengar pertanyaanku.
Aku menarik kakiku ke dalam, lebih dekat ke arah sofa, "aku sedang nggak ingin membahas ukuran jempol kaki pria yang berbanding lurus dengan besar penisnya. Karena katanya, semakin besar ukuran jempol kaki seorang laki-laki, maka semakin besar juga ukuran penisnya."
"Is that true?" Kyara tertawa kecil.
"Nggak usah mengalihkan pembicaraan, Ra!" sergahku.
Kyara menuju sofa di sisi yang lain, sehingga kami duduk bersebelahan sekarang, "apa bedanya aku sama perempuan-perempuan lain di hidup kamu?"
"Cinta," jawabku cepat.
"Kamu nggak cinta sama aku?" Kyara melepaskan ikatan rambutnya, lalu bersandar di sofa.
"Punya atau nggak, aku rasa nggak akan ada artinya juga buat kamu," aku memandang lurus ke depan, menghindari pesona Kyara yang semakin menjadi-jadi saat rambut panjangnya terurai seperti sekarang.
Kyara meletakkan tangannya di pahaku, sepertinya tidak sengaja. Kaku aku menatap tangan perempuan itu di kulitku yang tidak tertutup celana, berharap agar Kyara tidak menggerakkan tangannya ke atas dan ke bawah atau menepuk-nepuk pahaku. Aku menelan ludah, menahan segala pikiran kotor hanya karena Kyara meletakkan tangannya di atas pahaku.
Rupanya Yang Maha Kuasa mendengar permintaan sederhana dari hamba yang tidak tahu diri ini, Kyara mengambil tangannya. Tapi sekali lagi, Tuhan rupanya masih mau mengujiku dengan persoalan yang lebih berat, sebab kali ini Kyara menaikkan salah satu kakinya sehingga membuat pahanya berada di atas pahaku. Kulit kami saling bersentuhan, membuat darahku berdesir.
"Lan?" Kyara berhasil mengacaukan lamunanku.
"Ya? Kenapa? Ada apa, Ra?" gelagapan aku membalas panggilannya.
"Kamu kenapa?" Kyara mengamati wajahku, "aku haus, Lan..."
"Kamu mau air?" tanyaku sambil berusaha beranjak dari sofa.
"Aku ambil sendiri saja!"
Aku mengamati punggung Kyara yang semakin menjauh dariku. Bahkan melihat punggungnya yang tertutup kain dengan sempurna saja berhasil menggiring fantasiku ke mana-mana. Begitu dahsyat pesona perempuan ini sehingga membuat laki-laki seperti aku bertekut lutut di hadapannya. Tentu saja Kyara selalu berhasil membuat pikiran kotorku menang, walaupun baru sekali aku tidur dengannya setelah masa koma, tapi satu kali itu sudah cukup membuat aku merasa kecanduan akan Kyara. Persis seperti ketika dia menjadi istriku di masa koma.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perempuan yang Aku Nikahi
RomanceSelain membutuhkan pasangan, menikah juga membutuhkan cinta. Namaku adalah Alan Chevalier Hartadi. Laki-laki dua puluh sembilan tahun dengan fisik yang tidak perlu diragukan lagi dan kekayaan yang begitu melimpah. Aku rasa, aku tidak memiliki kesuli...