Perdebatan kecil dengan Ethan tadi membuat aku merasa jengah. Sekian tahun kami berteman, tidak pernah sekalipun kami bertengkar hanya untuk memperebutkan perempuan. Kalau ini bukan tentang Kyara, aku pasti sudah memberi jalan selebar-lebarnya bagi Ethan untuk melaju terlebih dahulu. Tapi ini Kyara, perempuan pertama yang membuat aku jatuh cinta. Selain pengalamanku menikahinya di dalam masa koma, aku juga jatuh cinta padanya dalam realita. Aku tidak dapat membohongi diriku sendiri bahwa memang aku ingin memilikinya.
Setelah aku melepas sepatu, aku membuka pintu yang menghubungkan garasi dan ruang tengah. Aku meregangkan kedua tanganku dan meluruskan punggungku, rasa lelah segera menyergap ketika aku masuk ke dalam rumah. Begitu kemeja, celana, dan kaos kaki aku lepas di laundry room, aku baru sadar bahwa aku belum makan malam. Perutku menabuh genderang perang, minta diisi. Di kafe Kyara tadi aku hanya sempat meneguk kopi dan makan beberapa keping cookies.
Segera aku menuju ke lantai atas untuk mengambil baju bersih di dressing room. Mengubah rencana yang tadinya akan segera mandi dan tidur menjadi segera mandi dan keluar untuk membeli makan. Memoriku kembali ke masa koma, teringat ketika aku memiliki Kyara untuk menyiapkan segalanya untukku. Baju yang rapi, wangi, dan bersih, kamar tidur yang selalu berganti seprai dan selimut setiap hari, juga makanan hangat tiga kali sehari. Sesuatu yang sekarang sangat aku syukuri.
Aku berencana pergi ke luar untuk membeli makan. Namun ketika baru saja aku memakai celana, aku mendengar hand phone milikku berdering. Aku melirik sekilas ke arah benda pipih yang tengah berkedip-kedip itu. Sebuah panggilan masuk.
Mama Chevalier
Sebuah panggilan dari Mama, tumben sekali orang tua perempuanku itu meneleponku malam-malam begini. Aku jadi khawatir, karena Mama jarang sekali meneleponku, apalagi jam sembilan begini.
"Ya, Ma?" sahutku begitu aku gulir tombol hijau ke atas.
"Cheva lagi di mana, Nak?" tanya Mama dari seberang.
"Di rumah, Ma. Mau keluar sih sebenarnya, Cheva mau beli makan. Ada apa, Ma?" ada sedikit kekhawatiran padaku.
"Nah! Kebetulan sekali, Baby Boy... Papa sama Mama juga mau beli makan. Papa ingin makan sate kambing malam-malam begini. Ajaib, kan?" Mama terkekeh-kekeh di ujung sana.
Aku tertawa lega, "kenapa Bapak Hartadi suka hal-hal yang aneh begitu, sih?"
"Sebenarnya Papa malah minta sate kambing yang di Jakarta, Chev... Ingat sate kambing yang di Menteng?" kata Mama ringan.
Kutepuk keningku spontan, "oh, My God!" seruku, "Papa sedang ingin menghambur-hamburkan uang, Ma? Coba kasih nomor rekening Cheva!" aku menggeleng-geleng heran.
"Itu dia... Mama sudah coba bujuk, sekarang Papa kamu ajak makan sate kambing di Jalan Pattimura. Sebentar lagi Pak Derry berangkat jemput kamu, Chev... Tunggu, ya?" jelas Mama.
"Ma?"
"Ya, Chev?"
"Cheva ini sudah hampir tiga puluh tahun. Untuk apa Mama menyuruh Pak Derry buat jemput Cheva?" tanyaku gemas, "Cheva ada mobil, Cheva bisa mengemudi. Astaga!"
Mama tertawa renyah, "sudah malam, kamu pasti capek juga, kan?"
"Cheva jemput Papa dan Mama sekarang," putusku cepat sebelum Mama mulai berceramah.
***
Dua puluh menit aku mengemudi untuk menuju rumah orang tuaku. Benar-benar orang tua yang sangat ajaib. Menjadi anak tunggal dari sebuah keluarga yang memiliki materi terlalu cukup membuat aku menjadi anak emas Papa dan Mama. Bahkan sampai kadang orang tuaku sering lupa bahwa bocah kecilnya ini sudah menjadi laki-laki dewasa yang tentu saja seharusnya mampu menghasilkan bocah kecil lagi. Tapi aku tidak mau membahas masalah itu dengan Papa dan Mama, sebab sekali kalimat itu didengar oleh mereka, pasti akan ada permintaan untuk segera menikah. Menikah itu gampang buatku, jodohnya yang susah untuk aku cari.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perempuan yang Aku Nikahi
RomansaSelain membutuhkan pasangan, menikah juga membutuhkan cinta. Namaku adalah Alan Chevalier Hartadi. Laki-laki dua puluh sembilan tahun dengan fisik yang tidak perlu diragukan lagi dan kekayaan yang begitu melimpah. Aku rasa, aku tidak memiliki kesuli...