Setelah seratus tiga puluh lima menit berada di atas udara, akhirnya kami mendarat dengan selamat di bandar udara Hang Nadim. Begitu para kru penerbangan memberi tahu kepada para penumpang bahwa kami sudah boleh melepas sabuk pengaman dan meninggalkan kursi, aku meraih tangan Kyara, mengajaknya untuk berdiri, dan mengambil barang-barang di dalam kompartemen.
"Cuma ransel sama tas tangan kamu saja di dalam sini, kan?" tanyaku sembari menurunkan ransel dan tas milik Kyara.
Kyara mengangguk, "koperku tadi kamu bawa ke mana, Lan?"
"Siapa yang membawa kopermu?" aku mengangkat bahu.
"Nggak lucu!" kata Kyara sambil memukul pelan lengan kananku.
Aku meringis, "masuk bagasi. Aku pikir kamu lupa kalau kamu membawa koper..."
"Aku yakin kamu akan mengurusnya dengan sangat baik," Kyara terkekeh-kekeh.
"Mas Alan?" panggil Danish, "bisa minta tolong untuk mengambil barang-barangku di atas?" tunjuknya pada kompartemen di atasnya.
"Tunggu, Nish... Aku masih menurunkan barang-barang milik Kyara. Kamu bisa minta bantuan sama pramugara," jawabku tanpa melihat ke arahnya, masih sibuk menutup kompartemen.
Danish mendengus kesal, "dia kan tinggi, dia bisa mengambil barang-barangnya sendiri!"
Akhirnya aku memilih untuk berpaling ke arah Danish, "Kyara nggak minta aku untuk melakukan semua ini, tapi aku sendiri yang bersedia membantunya. Dengan senang hati."
"I am okay, Lan... Kamu bisa bantu Danish untuk mengambil barang-barangnya," Kyara mengambil tas ransel miliknya dari tanganku, dengan sedikit memaksa.
"Aku nggak mau membantu dia, Ra... Aku memang nggak mau," tolakku, kembali aku raih tas tangan milik Kyara dan segera menggandeng tangannya untuk pergi.
"MAS!" seru Danish, semakin dongkol.
Tanpa menghentikan langkah atau berbalik padanya, aku segera mengajak Kyara untuk keluar dari kabin pesawat ini. Sengaja kubiarkan puluhan pasang mata yang memandang kami dengan berbagai macam tatapan yang malas aku tafsirkan, aku tidak peduli kepada semua selain Kyara yang sedang berada di belakangku.
"Boleh aku bantu?" suara Ethan terdengar bersamaan dengan kepergianku.
Tidak sedikit pun ada keinginan padaku untuk melihat apa yang terjadi di belakang. Satu hal yang aku tahu, kami sudah sampai di Batam. Aku tidak mau mengacaukan acara liburan ini, apalagi setelah Kyara akhirnya memutuskan untuk bergabung.
"Kenapa kamu nggak mau membantu Danish?" tanya Kyara saat kami melewati garbarata.
Aku tersenyum seadanya, karena masih kerepotan dengan dua tas ransel yang berada padaku. Kali ini aku tidak lagi membawa tas tangan milik Kyara, tapi ransel milikku dan ransel perempuan itu yang sekarang berada padaku. Kyara membawa tas tangannya sendiri, sedangkan ranselnya sudah berada di dadaku, sementara tas ranselku menempel pada punggungku sendiri.
"Alan!" panggilnya.
"Ya, Ra?" aku memalingkan wajahku padanya.
"Kamu nggak dengar apa pertanyaanku?" wajahnya berubah masam.
Aku menghela nafas pendek, "jawaban apa yang kamu harap dariku?"
"I don't know," Kyara mengangkat bahunya, "aku cuma ingin afirmasi saja sebenarnya, Lan..."
Tanpa banyak bicara lagi, aku meraih tangan Kyara dan mengajaknya untuk segera keluar dari garbarata. Kyara tidak banyak bertanya lagi, dia melangkah mengikuti langkahku yang sedikit terburu-buru, entah untuk apa. Mungkin tanpa aku sadari, kakiku melangkah cepat karena aku ingin segera menghindari Danish di belakang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perempuan yang Aku Nikahi
RomanceSelain membutuhkan pasangan, menikah juga membutuhkan cinta. Namaku adalah Alan Chevalier Hartadi. Laki-laki dua puluh sembilan tahun dengan fisik yang tidak perlu diragukan lagi dan kekayaan yang begitu melimpah. Aku rasa, aku tidak memiliki kesuli...