Sudah dua minggu berlalu sejak aku bertemu dengan Kyara di kafenya, sudah dua minggu juga tidak ada satupun panggilan atau pesan masuk darinya. Aku sama sekali belum ingin menghubunginya. Tekadku sudah bulat, aku benar-benar tidak ingin menemuinya lagi. Aku ingin melupakan Kyara. Mungkin aku hanya berjodoh dengannya dalam masa koma, tidak ada harapan untuk dia dan aku menjadi kami di kehidupan nyata.
Hari ini aku memutuskan untuk datang lebih pagi, sebab aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan di rumah. Bukan berarti aku tidak mampu hidup sendiri, karena sebelum koma aku juga sudah hidup sendiri. Tapi beberapa hari ini aku merasa benar-benar sendiri, seperti ada kotak kosong dalam hatiku.
"Selamat pagi, Pak Alan!" sapa seorang perempuan yang masuk ke dalam ruang kerjaku.
Aku menatapnya, "selamat pagi, Ibu Farra!" balasku.
"Saya nggak melihat sekretaris Bapak di depan, jadi saya langsung saja masuk," katanya berbasa-basi.
"Amanda belum datang. Banyak yang belum datang. Karena pagi sekali Ibu Farra datang ke kantor saya. Ada apa?" aku merapikan kerah kemeja hitam yang aku pakai.
Farra berdehem, "begini, Pak... Saya rasa Pak Alan sudah tahu kalau saya sekarang bekerja untuk Pak Ethan. Ya, kan?"
Aku mengangguk, "Ethan sudah cerita, Ibu... Apa ada yang ingin dibicarakan?"
"Begini, Pak... Untuk presentasi iklan yang kami buat, bisa saya minta jadwalnya?" Farra mengambil duduk di depanku.
"Sebentar, Bu... Saya rasa, dealer sudah punya tim yang akan mengurus soal iklan ini. Nanti coba saya hubungi Ibu Farra kembali, ya? Bisa saya minta nomor teleponnya?" aku meraih telepon pintarku yang tergeletak di atas meja.
"Saya ada nomor Pak Alan. Nanti saya chat, ya?" Farra tersenyum, "kalau begitu, saya permisi dulu, Pak..."
"Eh? Sebentar, Ibu Farra!" spontan aku mencegahnya untuk beranjak, "coffee?"
***
Aku menyesap cappuccino panas dari dalam cangkir. Sudah lama sekali lidahku tidak merasakan nikmatnya kopi. Sejak aku tidak lagi menginginkan Kyara di dalam hidupku, secara tiba-tiba aku jadi kehilangan minat pada cairan hitam kental itu. Aku lebih banyak minum air putih atau infused water atau beer dingin. Bukan sebuah kombinasi yang baik, tapi hanya beer dingin lah yang mampu menjadi pelarian lidahku dari kopi.
"Pak Alan mau muffin?" Farra menyodorkan sebuah kue beraroma harum di atas piring ke hadapanku.
Aroma kue berwarna coklat pekat itu membuat perutku bersorak penuh minat, tentu saja aku mengangguk dengan cepat sebelum Farra membatalkan tawarannya. Tidak dapat aku pungkiri, aku merasa lapar sekali. Karena tadi pagi aku hanya sempat menghabiskan satu butir apel hijau dan segelas air lemon dan madu.
"Boleh, Bu Farra..."
"Pak?" panggil Farra sambil mengambil tempat duduk di depanku, "boleh panggil saya Farra saja?"
Aku tersenyum, "okay, Farra... Kita balik seperti dulu lagi, ya? Panggil aku Alan."
"Kamu apa kabar, Lan?" Farra mencoba berbasa-basi denganku, "you look so great today," pujinya.
"What kind of great do you mean?" aku terkekeh, "kalau aku jadi suka datang lebih pagi, mungkin iya. Itu maksud kamu?"
"Bukan!" Farra menggoyangkan jari telunjuknya, "kamu terlihat lebih segar, lebih tampan, dan lebih berisi."
"Oh!" aku manggut-manggut, "aku rutin olah raga lagi, Far... Beberapa minggu ini aku kembali ke lapangan basket dan coba makan yang benar."
"Wow! Glad to hear that, Alan..."
KAMU SEDANG MEMBACA
Perempuan yang Aku Nikahi
RomansaSelain membutuhkan pasangan, menikah juga membutuhkan cinta. Namaku adalah Alan Chevalier Hartadi. Laki-laki dua puluh sembilan tahun dengan fisik yang tidak perlu diragukan lagi dan kekayaan yang begitu melimpah. Aku rasa, aku tidak memiliki kesuli...