"Chev, Papa minta tolong kamu cek dealer yang kamu pegang, ya? Ada beberapa unit mobil yang seharusnya datang ke Surabaya, tapi justru masuk ke dealer kamu," kata Papa dari seberang.
"Papa di mana?" balasku.
"Di Batam."
Dan sambungan telepon itu terputus begitu saja. Seperti biasanya. Papa hanya akan menghubungi aku ketika Papa merasa membutuhkan aku untuk hal-hal yang bersifat bisnis, kalau tidak kepentingan bisnis tentu saja Papa tidak akan pernah meneleponku. Aku? Aku tentu sudah biasa mendapat perlakuan seperti itu. Sudah belasan tahun mungkin Papa bersikap seperti itu kepadaku. Terlebih-lebih saat aku menolak keinginan Papa untuk mengelola bisnisnya.
Aku meletakkan telepon selulerku ke atas meja di sebelah ranjang. Sementara kebanyakan orang merasa sangat ketergantungan terhadap benda mungil super pintar itu, aku sama sekali tidak tertarik untuk menyentuhnya. Kecuali jika benda itu berbunyi karena ada pesan masuk atau panggilan masuk.
"Lan?" Kyara membuka pintu kamar.
Pagi ini dia terlihat masih berantakan, tidak seperti biasanya. Aku memandangnya dengan heran.
"Kamu tumben sekali belum rapi jam segini, Ra?" tanyaku.
"Aku lupa belum mencuci baju dan membersihkan halaman belakang, Lan..." jawab Kyara sambil menyeka butiran peluh yang menetes di kening dengan punggung tangannya.
Aku memperhatikan Kyara lama-lama, "kenapa kamu nggak bilang sama aku?"
Perempuan itu sedang sibuk memindahkan pakaian kotor dari dalam keranjang di dekat dressing room ke dalam keranjang lain yang dia pegang. Dia tampak begitu tekun mengerjakan itu semua, Kyara sama sekali tidak terlihat canggung mengerjakan begitu banyak pekerjaan domestik di rumah ini.
"Ra?" panggilku untuk mengalihkan kesibukannya.
"Ya, Lan?" akhirnya Kyara meletakkan keranjang di tangannya dan melihat ke arahku, "sudah lapar, ya?"
Aku menggeleng, "bukan itu. Aku cuma ingin membantu. Apa yang bisa aku lakukan?"
Kyara menatapku lama, "kamu serius?"
"Kenapa? Kamu pikir aku nggak bisa mengerjakan itu semua?" tantangku.
Kyara menggeleng cepat, "seumur hidup aku yakin bahwa kamu nggak pernah mencuci baju kamu sendiri!" serunya yakin.
Aku menggaruk kepalaku sebentar, "there is always a first time, Dear..."
"Okay," Kyara manggut-manggut, "kamu pindahkan pakaian kotor dari keranjang itu ke sini!" perintahnya.
Dia menyodorkan keranjang kosong ke arahku, kemudian menunjuk tumpukan pakaian kotor di keranjang dekat kamar mandi.
"Setelah itu kamu bawa pakaian kotor itu ke laundry room di bawah!" kata Kyara, lalu meninggalkan aku.
"Ini bukan hal yang susah..." gumamku.
Kemudian keranjang berisi pakaian kotor yang dominan berisi pakaian kotorku itu aku angkat menuju lantai bawah, aku bawa ke laundry room seperti yang Kyara minta.
"Ra?" panggilku begitu keranjang pakaian kotor aku letakkan di depan mesin cuci.
"Sebentar, Lan! Aku di halaman belakang," jawabnya setengah berteriak.
Aku segera mendatangi tempat yang Kyara maksud. Perempuan itu sedang asyik mencabut rumput. Dia sama sekali tidak tampak kelelahan, walaupun dia sudah mencabut setengah halaman rumput di sana.
"Ra, pakaian kotornya sudah aku masukkan ke dalam mesin. Lalu apa lagi?" tanyaku.
Kyara tertawa geli, "kamu benar-benar nggak pernah mencuci pakain kamu sendiri, Lan?" dia menggeleng-gelengkan kepalanya, "kamu tunggu sampai mesinnya berbunyi, lalu kamu masukkan cucian setengah kering itu ke mesin pengering di sebelahnya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Perempuan yang Aku Nikahi
RomanceSelain membutuhkan pasangan, menikah juga membutuhkan cinta. Namaku adalah Alan Chevalier Hartadi. Laki-laki dua puluh sembilan tahun dengan fisik yang tidak perlu diragukan lagi dan kekayaan yang begitu melimpah. Aku rasa, aku tidak memiliki kesuli...