PART 2

5.3K 587 54
                                    


"Pram, duduk dulu. Kamu berangkat bareng Dante."

Pram hendak melangkah cepat ke arah pintu depan, melewati ruang makan yang terhalang sekat kotak-kotak berisi berbagai hiasan. Dia kira tak akan terlihat, tapi ternyata papanya memanggil.

Dari kecil, Pram tidak mengenal sosok kedua orang tuanya. Walaupun 17 tahun hidup berkat uang pria itu, tapi tidak pernah sekalipun Papa muncul untuk menemuinya. Papanya: pria dengan tubuh khas bapak-bapak pada umumnya, perutnya agak buncit, berambut abu-abu putih, dan berkacamata. Gak ganteng-ganteng amat. Di sini Pram ganteng karena mewarisi paras mamanya yang sempurna. Dia pernah lihat dari foto; mamanya sangat cantik. Tapi, kenapa wanita itu sampai rela jadi selingkuhan?... Ah, yang penting cuan kali, ya.

Karena tak ingin ada keributan di pagi hari, jadi Pram menurut. Dia melangkah memasuki ruang makan. Tidak jadi kabur.

Melihatnya bergabung di meja makan, mama tiri cuek saja. Tapi, dari raut wajahnya, sepertinya dia masih tampak tidak sudi dengan keberadaan Pram di rumah ini. Begitu pun si Lonte. Raut wajah mereka sama.

"Sarapan."

Papa melirik, berkata dengan nada menyuruh. Soalnya Pram hanya duduk diam dengan handphone di tangan.

"Gak biasa sarapan," Pram menyahut dengan tegas agar papanya tidak bicara apa-apa lagi. Dia tidak mau banyak-banyak mengeluarkan suara karena ada telinga-telinga yang tidak menyukai suaranya, bahkan sekadar embusan napasnya pun, mungkin.

Rumah ini sangat besar. Rumah neneknya lebih sederhana. Tapi sama saja, tak ada yang lebih baik bagi Pram.

"Aku udah." Dante meneguk minum lalu mengelap mulutnya dengan tisu. "Berangkat dulu," pamitnya. Dia beranjak menyalami tangan mama dan papanya.

Pram juga beranjak, tapi tak berniat untuk mengulurkan tangannya. Lagi pula mama tiri tak akan menerima uluran tangannya. Daripada bikin sakit hati, mending tidak usah.

"Gue gak mau bonceng lo," kata Dante setelah mereka melangkah keluar dari rumah.

"Siapa juga yang mau dibonceng lo, gue punya motor sendiri."

Vespa matic merah terparkir di samping motor Dante. Pram melenggang menaikinya, memundurkan, lalu membelokkan. Tak lupa memakai helm sebelum melaju. Tanpa Dante pun, dia sudah tahu lokasi sekolah barunya.

-

Setelah berkenalan singkat; memberitahukan nama dan asal sekolah. Pram melangkah menuju bangku kosong yang ada di belakang. Kebetulan duduk sendiri-sendiri, jadi dia tidak perlu repot-repot berbasa-basi dengan teman sebangku. Ternyata Pram sekelas dengan Dante. Sepertinya saudara tirinya itu murid kesayangan; duduk paling depan, di tengah-tengah--menjadi pusat perhatian guru.

"Miki." Seseorang di sebrangnya mengulurkan tangan.

"Pang."

"Pram?"

Pram menggeleng. "Panggil aja Pang," katanya.

Miki mengangguk-angguk, dia tersenyum miring sebelum kembali memandang ke depan.

-

"Pang, kantin, yok."

"Alex." Seseorang yang bersama Miki mengulurkan tangan.

Pram menjabatnya, tersenyum. "Lo berdua gak keberatan gue gabung?" tanyanya.

Miki mengedikan bahu, begitu pun Alex. Pram tersenyum lebar, beranjak. Bersyukur, walaupun hidup dengan latar garis keturunan yang tidak normal, tapi dia tidak pernah susah dalam mendapatkan teman. Mendapat bully-an verbal sering, tapi Pram cuek orangnya, yang bully akhirnya capek sendiri kalau nge-bully dia.

PUNK (Selesai) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang