Hening. Tak ada yang dia dengar. Suara napasnya sendiri pun tak terdengar. Pram membuka mata, tampak Erik; berdiri di sampingnya yang terbaring.Pram mengedarkan pandang, melihat tangan kirinya yang terasa kaku. Terpasang infus di punggung tangannya itu.
Erik mengacungkan alat untuk telinganya.
Pram mengangkat tubuhnya perlahan untuk duduk, lalu Erik memakaikan alat itu di kedua telinganya.
Suara-suara mulai terdengar sayup-sayup.
Helaan napas Erik yang terdengar jelas pertama kali.
"Papa gak akan izinin kamu bawa motor lagi."
Pram melirik papanya. Baru teringat. Dia pasti terjatuh dari motor yang tengah dikendarainya, setelah tiba-tiba kepalanya terasa pusing dan pandangannya menggelap.
"Tadi itu ada lobang, Pa. Ban motornya selip. Lain kali aku bakal lebih hati-hati," Pram berbohong. Karena jika jujur, Erik sepertinya akan menyita motornya.
"Kata saksinya, kamu jatoh gitu aja, pingsan."
Skak. Ternyata ada saksi mata yang sudah terlebih dulu berbicara fakta. "Cuma lagi banyak pikiran aja, Pa, jadi pusing. Lain kali bakal lebih hati-hati, kalo pusing berhenti dulu," Pram tetap mengusahakan agar motornya tidak disita, tidak boleh sampai disita.
Erik menghela napas lebih panjang dari yang sebelumnya. "Berantem?"
Pram bungkam.
"Pram?" Erik meminta jawaban.
"Iya, Pa," akunya pelan. Tidak ada pilihan lain, selain mengakui, toh sudah jelas ada lebam di wajahnya.
"Papa udah bilang--"
"Bukan karena tawuran atau berantem besar, Pa. Ini cuma ada salah paham, sedikit."
"Kalo sedikit, gak usah pake berantem, kan bisa, Pram."
"Anak muda, Pa, apa-apa kan pake emosi."
"Papa udah bilang, Pram. Cari temen yang baik."
"Mereka baik."
"Temenan sama orang yang berpikir saat emosi, bukan orang yang pikirannya gampang kemakan emosi."
"Iya, maaf, Pa." Pram mengatupkan bibir. Kata iya dan maaf akan menghentikan omelan Erik.
"Jangan banyak pikiran." Suara papanya kembali melembut.
Nah, kan?
"Mm." Pram mengangguk. Agar papanya tidak berbicara lagi.
--
Dua hari Pram di rumah sakit. Sorenya dia diperbolehkan pulang karena kondisinya baik. Pram terus terpikir tentang sekolah. Hanya berharap, Dante tidak bertindak.
--
Pintu kamarnya terbuka. Erik muncul. Papanya pasti sudah mengetuk dan memanggil, hanya Pram sedang tidak menggunakan alat di telinganya.
Pram turun dari kusen jendela. Mengambil alat dengar dan memakainya.
"Belum dimakan sarapannya?" tanya Erik sembari melirik nampan di atas nakas, terlihat belum disentuh.
"Belum laper, Pa."
"Makan, Pram. Kan harus minum obat."
"Udah diminum kok obatnya."
Erik menatap. "Gak makan dulu?"
"Gak diharuskan makan juga, kan?"
"Kata siapa? Makan dulu kalo mau minum obat."
KAMU SEDANG MEMBACA
PUNK (Selesai)
General Fiction**Jangan plagiat nyerempet copy paste** Pernah dengar tentang cerita seorang anak haram, anak hasil selingkuhan, atau anak yang tak diinginkan, yang dibenci, dicaci, diperlakukan seenaknya. Tapi dia hanya menerima saja, tetap bersikap baik walaupun...