Pram mengusik. Lengannya terasa ada yang menggoyangkan. Mungkin hanya bagian dari mimpi, jadi dia tidak membuka mata. Tapi lama-kelamaan semakin terasa. Pram melenguh lalu membuka matanya.Ah, ternyata memang ada Bibi di samping ranjang, yang mencoba membangunkan dengan menggoyangkan lengannya.
"Bentar, Bi."
Dengan suara serak dan mata yang belum sepenuhnya terbuka, Pram meraba sisi bantal, mengambil alat untuk telinganya.
"Kenapa, Bi?" tanya Pram saat alat itu sudah terpakai di telinga. Matanya juga, kini sudah mulai terbuka lebar.
Ini terlalu pagi sebenarnya untuk tidur siang, tapi Pram terlalu gabut jika membuka mata. Makanya, dia memilih tidur setelah selesai mandi sekitar setengah jam yang lalu.
"Maaf, Mas Pram, ada temennya di luar. Udah Bibi suruh masuk, tapi gak mau. Suruh tunggu di teras juga gak mau. Dia tetep berdiri di sebrang jalan, deket mobilnya. Bibi liat mobil itu di situ dari tadi, Bibi kira cuma orang yang parkir. Pas Bibi keluar, orangnya keluar dari mobil, nyamperin. Katanya, minta dikasih tahu ke Mas Pram buat liat handphone."
Pram bangun. Mengambil handphone sambil menguap lebar. Yoyo, Ewin, atau Odi, kah? Tumben mereka mau main jauh-jauh ke rumahnya.
Tapi ternyata, panggilan masuk yang tak terjawab sampai belasan kali itu... dari Deki, dan ada beberapa pesan juga darinya.
"Udah ya, Mas, Bibi keluar. Mas Pram samperin aja temennya, kasian dari tadi di luar."
Pram menelepon balik Deki. Semenjak menggunakan Implan Koklea, sebenarnya dia jarang sekali menerima telepon atau menelepon. Karena ya... agak tidak nyaman. Handphone bukan lagi ditempelkan pada telinganya, tapi sekarang speaker handphone yang harus didekatkan ke bagian yang disebut mikrofon pada alat di telinganya, agar suara si penelepon bisa tertangkap. Dan itu membuatnya tidak nyaman. Tapi, sebenarnya ada alat khusus yang bisa menyambungkan langsung alat di telinganya itu dengan handphonenya, menggunakan bluetooth. Pram
punya alatnya, tapi bahkan dia tidak pernah menyentuhnya; masih terbungkus, tersegel--baru dalam kotaknya."Hallo, Pang, gue di luar rumah lo. Jalan, yok. Lo bawa passport--"
"Passport? Mau ke mana? Lo mau bawa gue kabur?" Pram memotong dan menuduh.
"Ke tempat kemaren, seru keknya. Kita lompat dari menara lagi," sahut Deki, yang katanya berada di luar rumahnya itu.
"Gak usah pake pengaman tapi ya."
"Mati lah."
Pram terkekeh.
"Ayok, cepetan."
"Eh, beneran?" tanya Pram. Kekehannya langsung hilang. Deki tidak sedang becanda?
"Beneran. Cepetan ke luar, bawa passport sama apa aja yang lo butuhin."
"Ke tempat kemaren, ke Singapore? Gila lo, Bang, yang bener aja. Kejauhan lah."
"Cepetan, Pang. Gue tungguin."
Telepon dimatikan begitu saja. Pram menatap layar handphonenya yang memperlihatkan wallpaper hitam polos. Lalu muncul pesan-pesan spam beruntun dari Deki, yang membuat handphonenya terus bergetar.
"Beneran?" Kening Pram mengkerut.
Kata 'cepetan' terus bermunculan, Deki tidak sabaran.
"Beneran," ucap Pram sembari mengangguk. "Oke!" Lalu dia beranjak, mengambil Waist Bag-Nya, memasukkan barang-barang penting yang dibutuhkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
PUNK (Selesai)
General Fiction**Jangan plagiat nyerempet copy paste** Pernah dengar tentang cerita seorang anak haram, anak hasil selingkuhan, atau anak yang tak diinginkan, yang dibenci, dicaci, diperlakukan seenaknya. Tapi dia hanya menerima saja, tetap bersikap baik walaupun...