PART 18

3K 516 40
                                    


Dari kemarin tubuh Pram hangat. Gara-gara menangis... menyesal dia. Bangun tidur, suhu tubuhnya terasa naik. Pram tidak akan sekolah.

Tokk... Tok...

"Pram."

Suara Erik terdengar, mengiringi ketukan pintu.

"Udah bangun belum? Boleh Papa buka pintunya pake kunci cadangan?"

Pram menyibakkan selimut, bangun, melangkah terpaksa.

"Kenapa? Pusing?" tanya Erik saat pintu terbuka.

Pram kembali ke tempat tidur, duduk bersandar. "Demam," sahutnya.

Erik memegang kening Pram. "Ke rumah sakit, ya? Papa anter sebelum berangkat ke kantor."

"Gak mau. Aku udah minum obat." Pram berbaring, menarik selimut.

"Tetep aja harus ke rumah sakit. Dokter Ari nanyain, harusnya kemarin kamu ke sana."

"Nanti aja, Pa. Papa kerja aja. Aku mau tidur."

"Pram."

Yang dipanggil sudah memejamkan matanya. Erik menghela napas. Sekeras Vina. "Telepon Papa kalo kamu mau ke rumah sakit."

Pram tidak menyahut.

"Papa titip kamu ke Bibi."

Erik pergi setelah mengusap rambutnya.

-

Pram terbangun saat pintu terbuka, kemudian menutup mata kembali saat yang nampak masuk ke dalam kamarnya adalah asisten rumah tangga, membawa sebuah nampan yang disimpan di atas nakas.

-

Pram baru benar-benar bangun di beberapa jam kemudian. Matanya terbuka, langsung tertuju pada nampan di atas nakas; ada dua mangkuk dengan penutup, segelas air, dan satu wadah plester demam.

Pram bangun untuk meneguk airnya. Membuka penutup mangkuk; yang satu berisi bubur, satunya potongan buah. Buburnya masih hangat, sepertinya Bibi sudah menghangatkannya.

Pram beranjak untuk membuka gorden, lalu melangkah pelan ke kamar mandi. Terbiasa mandiri, tubuhnya tak pernah memerlukan perlakuan manja saat sakit, Pram makan dan meminum obat, lalu tidur kembali.

-

"Kemarin Dante sakit, kamu gak ada pulang, Mas."

"Aku pulang."

"Iya, besok malemnya!"

"Kemarin aku di luar kota."

"Tapi urusan kamu udah selesai dari malem kemarinnya, kan?"

"Al, sekarang aku nyempetin diri pulang ke rumah, karena aku tahu kamu gak akan peduli sama Pram, aku harus mastiin sendiri keadaannya."

"Dia baik-baik aja, dia cuma demam."

"Kamu juga tahu, dia gak sekadar demam, Alya."

"Aku tahu, dan aku benci!... itu jadi alasan buat kamu bawa dia ke rumah."

"Al, dia anakku juga, udah seharusnya tinggal di sini."

"Masih ada ibunya yang melarikan diri itu! Harusnya dia juga bertanggung jawab sama anaknya."

"Al, kita udah sepakat."

"Gak pernah ada kesepakatan. Kamu yang mutusin sendiri!"

"Alya, ini udah lama, kamu masih bahas ini? Kemarin kamu udah nerima."

"Aku gak pernah nerima anak itu. Dan aku muak kalo kamu lebih mentingin anak itu!"

"Semua anakku penting buatku, Alya. Jhona, Dante, Pram, semua dapat porsi yang sama."

"Terserah kamu!"

Pertengkaran di depan kamar, sepertinya selesai. Pintu kamar terbuka. Pram menatap Erik.

"Kenapa Papa pulang? Aku udah bilang, aku baik-baik aja. Cuma demam. Papa gak usah sekhawatir itu."

"Maaf, Pram." Kata maaf dari Erik mencakup banyak hal.

Pram tak bersuara, kepalanya sakit, dan semakin sakit jika harus memikirkan banyak hal. Yang sialnya tanpa mau dipikirkan pun, semua pikiran itu muncul sendiri.

"Udah turun demamnya?" Erik melangkah, duduk di tepi ranjang, memegang kening Pram. "Bibi belum kasih cemilan." Tangannya membuka mangkuk bubur yang sudah habis, potongan buah pun hanya tersisa beberapa.

Pram mengatupkan bibir, hanya menatap lurus ke depan, tidak menatap Erik.

Suasana canggung. Erik menyadari... Pram pasti mendengar pertengkarannya dengan Alya.

"Jangan pikirin omongan Mama Alya, dia cuma lagi emosi. Papa salah kemarin, baru bisa pulang besoknya, padahal Dante sakit."

"Papa pulang sekarang... itu yang jadi masalah. Papa gak usah terlalu perhatiin aku, Tante Alya gak suka itu." Pram berbicara tanpa menatap Erik. Matanya tiba-tiba terasa panas. "Aku mau hidup tenang. Kenapa di setiap pertengkaran... di sini... di rumah nenek, selalu aku yang dibawa-bawa jadi penyebab... jahat banget. Padahal aku selalu berusaha hidup gak ngerepotin orang lain."

Di akhir kalimat, dia menutupi wajahnya dengan lengan, lalu menarik selimut menutupi kepala. Mulai terisak di dalam selimut tebal itu. Lagi-lagi, isaknya keluar tanpa bisa ditahan. Perasaan dari kemarin, Pram jadi cengeng. Dia benci, tapi tidak bisa ditahan. Entah, hatinya sedang sakit.

Pram merasakan usapan tangan Erik di atas selimut yang menutupi seluruh tubuhnya.

"Maafin Papa ya, Pram."

Apa gunanya kata maaf. Pram terlanjur lahir dengan penderitaan.

--

PUNK (Selesai) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang