Masih dengan celana abu-abu dan seragam putihnya yang ditutup oleh jaket, Dante membuka pintu ruang rawat Pram.
"Ada lo ternyata, Bang."
Dia tersenyum tipis sembari melangkah saat melihat ada Deki yang tengah duduk di kursi samping ranjang.
"Lo bolos?" tanya Deki.
Dante menaikkan alisnya. Ini sudah lewat jam pulang sekolah, sengaja Dante mengunjungi rumah sakit setelah lewat jam pulang sekolah, agar tidak dicurigai.
"Nyokap lo tadi khawatir banget sama lo, wali kelas lo nelpon."
Dante duduk di sofa, menghela napas panjang. "Cepu banget wali kelas gue," katanya.
Deki terkekeh. "Nyokap sama bokap lo sekarang lagi ngomong sama dokter."
"Lo dari tadi?" tanya Dante sembari menoleh.
Deki mengangguk lalu melirik jam di tangannya. "Tapi kayaknya gue harus balik sekarang," ucapnya. Kemudian dia bangkit dari kursi. "Gue balik, ya." Deki pamit.
Dante mengangguk. "Makasih, Bang," katanya.
Deki membalasnya dengan senyuman tipis kemudian melangkah keluar dari ruangan.
Setelah Deki pergi, Dante beranjak, berpindah duduk ke kursi di samping ranjang--tempat Deki duduk tadi.
Pram sedang tidur.
Dante memandangnya.
"Deki sekarang ada di sini, nemenin lo terus. Lo seneng, kan, Pang?"
Dante mengangguk-angguk sendiri.
"Gue yakin lo seneng," ucapnya diakhiri senyuman samar.
-
Dari ruang dokter tadi, Alya dan Erik kembali ke ruangan membawa kabar yang tidak menyenangkan di telinga Dante. Dan mungkin, itu juga jadi keputusan yang tidak menyenangkan yang dengan tidak adanya pertimbangan, terpaksa harus diambil oleh papanya.
Dante menghempaskan bokong ke atas kursi belajarnya, diam dan memandang lurus ke depan.
"Lo pikir gampang bilang ke Papa buat berentiin semuanya?" ucap Dante.
Dia seperti tengah berbicara pada seseorang yang ada di hadapan matanya, tapi nyatanya yang ada di hadapan mata Dante kini hanya lah laci kecil tempat penyimpanan alat tulis.
"Gimana bisa kematian lo gak akan berarti apa-apa buat kita? ...Brengsek lo," Dante mengumpat pelan tanpa intonasi.
"Kenapa waktu itu lo ikut campur urusan gue? Kenapa lo bikin gue akhirnya nerima lo? Kalo gini ceritanya, mending sampe sekarang gue masih jadi orang yang benci lo, Pang. Kalo gue masih benci lo, gak akan se-sakit ini liat lo sekarang."
Dante kemudian mengusap singkat matanya yang mulai berair. Orang yang tergambar di dalam pikirannya, yang sedang dia ajak bicara; orang itu malah memperlihatkan tawanya. Brengsek sekali, padahal Dante sedang menggerutu padanya.
-
-
Pagi hari saat Dante terbangun dan perlahan kesadarannya kembali penuh, dia kaget saat melihat ada Jhona yang tengah memeluknya.
Dante menampar pipinya untuk memastikan dia sudah terbangun atau masih bermimpi.
Perih. Berarti nyata. Pantas saja tubuhnya terasa berat. Sepulas itu, kah, Dante tidur sampai dia tidak menyadari kedatangan Jhona?
"Bang, Bang, bangun." Dante menepuk-nepuk lengan Jhona yang melingkar di atas perutnya.
"Mm," Jhona menggumam.
KAMU SEDANG MEMBACA
PUNK (Selesai)
General Fiction**Jangan plagiat nyerempet copy paste** Pernah dengar tentang cerita seorang anak haram, anak hasil selingkuhan, atau anak yang tak diinginkan, yang dibenci, dicaci, diperlakukan seenaknya. Tapi dia hanya menerima saja, tetap bersikap baik walaupun...